Tafsîr Surat al-Baqarah ayat 257

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٥٧)
257. Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari al-zhulumât kepada al-nûr. Dan orang-orang kafir, pemimpin-pemimpin mereka ialah al-thâghût, yang mengeluarkan dari al-nûr kepada al-zhulumât. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Penjelasan

Wâlî di dalam Alquran terkadang berarti pemimpin atau penolong, tergantung konteknya. Dalam ayat ayat ini diartikan sebagai pemimpin. al-Zhulumât adalah simbol bagi segala sesuatu yang sesat, sehingga bisa berarti al-kufr (kekufuran), al-syirk (kesyirikan), al-nifâq (kemunafikan), serta al-‘ishyân (kemaksiatan), dan sebagainya. Dalam kontek sekarang, al-zhulumât bisa berupa isme-isme yang bertentangan dengan Islam semacam al-syuyû’iyah (komunisme), al-ra`sumâliyah (kapitalisme), al-ilhâdiyah, atheisme, al-ibâhiyah (permisivisme), dan sebagainya. Sedangkan al-nûr bermakna cahaya yang berasal dari Allah. Kata al-nûr di sini menggunakan mufrad (tunggal), tidak jamak berupa al-anwâr.

Maka makna ayat ini berarti: “Allâh memimpin manusia dari isme-isme sesat menuju isme yang lurus. Dari kufur menjadi iman, dari syirik kepada tauhid, dari maksiat kepada taat, dan seterusnya.”

Di dalam ayat ini, disebutkan al-thâghût dengan lafazh mufrad (tunggal), padahal kalimat sebelumnya adalah al-awliyâ` (pemimpin-pemimpin) dengan lafazh jamak. Ini menunjukkan, meskipun berbeda-beda dan bermacam-macam, para pemimpin orang-orang kafir memiliki satu ciri yang sama, yaitu mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kesesatan-kesesatan. Al-Thâghût adalah segala sesuatu yang disembah selain Allâh, sedangkan dia rela (kullu mâ ‘ubida ghayr Allâh wahuwa râdhin). Menyembah di sini tidak hanya diartikan dengan rukuk dan sujud, melainkan juga doa serta kepatuhan secara absolut. Yang banyak tergelincir menjadi thaghût kebanyakan adalah ulama tarekat.

Penjelasan bagaimana kepemimpinan Allah di muka bumi dijelaskan di dalam surat al-Mâidah ayat 55:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (٥٥)
55. Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Ayat di atas sekaligus menjadi kriteria bagi seborang pemimpin, apakah bisa disebut Ulil Amri atau tidak. Tidak semua pemimpin layak disebut Ulil Amri. Para khalifah dahulu, kecuali dalam masalah pewarisan kekuasaan, mereka menjalankan syariat Islam. Bedanya Islam dengan demokrasi, bahwa mengangkat pemimpin adalah kewajiban (kifâyah–red), sedangkan di dalam demokrasi merupakan hak.
(Dinukil dari pemaparan Ustadz Yunahar Ilyas pada kajian rutin Kamis pagi, 5 Februari 2009 di kantor PP Muhammadiyah Jl. Cik Di Tiro Jogjakarta)

4 responses to this post.

  1. Posted by Encuy Suryana on 21/04/2011 at 15:37

    Assalaamu’alaikum
    Lebih dari itu, di dalam demokrasi, pemimpin dipilih dengan hak suara. dimana manusia dapat lebih daripada hanya sekedar bersuara, yaitu bicara.
    Sukron.

    Balas

    • Posted by amhari on 26/10/2011 at 08:01

      Demokrasi bukan satu-satunya sistem yang memilih pemimpin dengan hak suara maupun memiliki hak bicara.

      Balas

  2. Posted by Rina Susilawati on 08/07/2013 at 17:02

    izin copas ya. ditulis nama sumbernya. makasih.

    Balas

Tinggalkan komentar