Penjelasan Syaikh Nâshiruddîn al-Albânî Mengenai Hadis Safînah tentang Khilafah Tiga Puluh Tahun

Penjelasan Syaikh Nâshiruddîn al-Albânî Mengenai Hadis Safînah tentang Khilafah Tiga Puluh Tahun

Hadis Safînah dimaksud dalam hal ini adalah:

الخلافة ثلاثون سنة ، ثم تكون بعد ذلك ملكا

Khilâfah adalah tiga puluh tahun, kemudian setelah itu menjadi mulk (kerajaan)

 

Syaikh Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullâh mengomentari hadis ini sebagai berikut:

“Dikeluarkan oleh Abû Dâwud (4646, 4647), at-Tirmidzî (2/35), ath-Thahâwî di dalam Musykilul Âtsâr (4/313), Ibnu Hibbân di dalam Shahîhnya (1534, 1535 – mawârid), Ibnu Abû ‘Âshim di dalam as-Sunnah (q. 114/2), al-Hâkim (3/71, 145), Ahmad di dalam al-Musnad (5/220, 221), ar-Rûyânî di dalam Musnadnya (25/136/1), Abû Ya’lâ al-Mûshilî di dalam al-Mafârîd (3/15/2), Abû Hafsh ash-Shyrfî di dalam Hadîtsnya (q. 261/1), Khaitsamah ibn Sulaimân di dalam Fadhâilush Shahâbah (3/108-109, ath-Thabrânî di dalam al-Mu’jam al-Kabîr (1/8/1), Abû Nu’aim di dalam Fadhâilush Shahâbah (2/261/1), al-Baihaqî di dalam Dalâilun Nubuwwah (j. 2) dari beberapa jalan melalui Sa’îd ibn Jumhân dari Safînah Abû ‘Abdurrahmân Mawlâ Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam, ia berkata: Lalu ia menyebutkannya secara marfû’.

Lafal dari Abû Dâwud:

خلافة النبوة ثلاثون سنة ، ثم يؤتي الله الملك أو ملكه من يشاء

Khilâfah Nubuwwah adalah tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan atau kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

 

Ia (Abû Dâwud), at-Tirmidzî, Ibnu Abû ‘Âshim, Ahmad, dan yang lain menambahkan:

قال سفينة : أمسك خلافة أبي بكر رضي الله عنه سنتين ، و خلافة عمر رضي الله

عنه عشر سنين ، و خلافة عثمان رضي الله عنه اثني عشر سنة ، و خلافة على رضي الله عنه ست سنين

Safînah berkata: Cukupkanlah pada Khilafahnya Abû Bakr radhiyallâhu ‘anhu dua tahun, Khilafahnya ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu sepuluh tahun, Khilafahnya ‘Utsmân radhiyallâhu ‘anhu dua belas tahun, serta Khilafahnya ‘Alî radhiyallâhu ‘anhu enam tahun.

At-Tirmidzî menambahkan:

قال سعيد : فقلت له : إن بنى أمية يزعمون أن الخلافة فيهم ، قال : كذبوا بنو

الزرقاء ، بل هم ملوك من شر الملوك

Sa’îd berkata: Lalu aku tanyakan kepadanya (Safînah): Sesungguhnya Banî Umayyah menyangka bahwa Khilafah ada pada mereka. Ia menjawab: Banû Zarqâ` telah berdusta. Bahkan mereka adalah para raja yang merupakan seburuk-buruk raja.

Aku (al-Albânî) katakan: Ini adalah tambahan yang diriwayatkan secara menyendiri oleh Hasyraj ibn Nubâtah dari Sa’îd ibn Jumhân, sehingga tambahan ini lemah, karena Hasyraj ini memiliki kelemahan. Adz-Dzhabi memamparkannya di dalam adh-Dhu’afâ`, dan ia berkata: an-Nasâ`î berkata: “Tidak kuat.” Al-Hâfizh berkata di dalam at-Taqrîb: “Jujur (namun) banyak bimbang.” Saya (al-Albânî) katakana: “Adapun pokok hadisnya, maka ia tsâbit (kokoh).

At-Tirmidzî berkata: “Ini hadis hasan. Telah diriwayatkan tidak hanya oleh satu orang melalui Sa’îd ibn Jumhân. Dan ami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis Sa’îd ibn Jumhân.”

Ibnu Abû ‘Âshim berkata: “(Ini) hadis yang kokoh dari sisi penukilannya. Sa’îd ibn Jumhân diriwayatkan oleh Hammâd ibn Salamah, al-‘Awwâm ibn Hawsyab, serta Hasyraj.”

Aku katakan: “Sekelompok Imam telah mentsiqahkannya, antara lain Ahmad, Ibnu Mu’ayyan, serta Abû Dâwud.”

Al-Hâfizh mengatakan: “Jujur; memiliki beberapa riwayat yang menyendiri.”

Aku (al-Albânî katakan): “Karena itulah para ulama yang telah disebutkan sebelumnya menguatkan hadis ini, antara lain al-Hâkim yang mensahihkan isnâdnya di sini, sebagaimana ia mensahihkannya di dalam hadis yang lain (3/606) yang dihubungkan oleh Ahmad dengan hadis ini, serta disetujui oleh adz-Dzahabi.”

Al-Hâfizh memberi isyarat kepada yang semisal dengan pensahihan ini di dalam al-Fath (13/182), lalu ia berkata sebagai tanda setuju: “Ibnu Hibbân dan yang lain mensahihkannya.”

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabarî berhujah dengannya di dalam salah satu bagian kitabnya al-I’tiqâd (h. 7). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mensahihkannya di dalam Qâ’idah karyanya tentan hadis ini yang tersimpan di dalam perpustakaan azh-Zhâhiriyah di dalam draft awalnya (q. 81/2-84/2), ia berkata di dalam bagian awal:

Ini hadis yang terkenal dari riwayat Hammâd ibn Salamah, ‘Abdul Wârits ibn Sa’îd, al-‘Awwâm ibn Hawsyab dari Sa’îd ibn Jumhân dari Safînah Mawlâ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan seperti Abû Dâwud dan yang lainnya. Imam Ahmad dan yang lainnya berpegang pada hadis ini dalam menetapkan Khulafaur Rasyidin yang empat. Imam Ahmad mengokohkannya serta menjadikannya dalil (untuk mengoreksi) orang-orang yang tawaqquf terhadap (status) kekhalifahan ‘Alî karena perpecahan di antara manusia atasnya. Sampai-sampai Imam Ahmad mengatakan: “Siapa saja yang tidak menghitung empat dalam urusan Khilafah, maka dia lebih sesat dari keledai kampungnya.” Ia melarang mengingkarinya[1], karena ia disepakati di antara fukaha dan ulama sunnah … Wafatnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah pada bulan Rabî’ul Awwal tahun 11 Hijriyah sampai tahun tiga puluh; tahun ketika terjadi ishlâh (perdamaian) cucu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam al-Hasan ibn ‘Alî as-Sayyid antara dua kelompom mukminin dengan turunnya beliau (al-Hasan) dari kekuasaan tahun ke-41 pada bulan Jumâdil Âkhirah dan dinamakan ‘âmul jamâ’ah (tahun persatuan) karena bersepakatnya manusia terhadap kepemimpinan Mu’awiyah, dan dia adalah raja pertama. Dan di dalam hadis yang diriwayatkan Muslim:

سيكون خلافة نبوة و رحمة ، ثم يكون

ملك و رحمة ، ثم يكون ملك و جبرية ، ثم يكون ملك عضوض

Akan ada Khilafah Nubuwwah, kemudian ada kerajaan dan rahmat, kemudian ada kerajaan dan pemaksaan, kemudian ada kerajaan yang menggigit.

Saya telah menemukan dua syâhid (saksi) bagi dua hadis ini:

Pertama, dari Abû Bakrah ats-Tsaqafî.

Dirilis oleh Al-Baihaqî di dalam ad-Dalâil dari jalan ‘Alî ibn Zaid dari ‘Abdurrahmân ibn Abû Bakrah dari bapaknya, hadis yang semisalnya.

Yang terakhir, dari Jâbir ibn ‘Abdullâh al-Anshârî.

Dirilis oleh al-Wâhidî di dalam al-Wasîth (3/126/2) dari Syâfi’ ibn Muhammad, Muhammad ibn al-Wasyâ` ibn Ismâ’îl al-Baghdâdî: Muhammad ibn ash-Shabâh telah menceritakan kepada kami, Husyaim ibn Basyîr telah menceritakan kepada kami, dari Abû az-Zubair darinya, hadis yang semisalnya.

Pada riwayat pertama terdapat ‘Alî ibn Zaid; dia adalah Ibn Jud’ân; dia lemah hafalannya, namun layak untuk dijadikan syâhid bagi riwayat tersebut.

Sedangkan pada riwayat terakhir terdapat Syâfi’ ibn Muhammad, Ibnu al-Wasyâ` ibn Ismâ’îl al-Baghdâdî telah menceritakan kepada kami. Aku tidak mengetahu keduanya. Mungkin ada kerusakan (tahrîf) di dalam naskah aslinya.

Kesimpulannya, hadis ini hasan dari jalan Sa’îd ibn Jumhân, sahih dengan dua syâhid ini, tidak bisa tidak. Para ulama yang telah disebutkan sebelumnya juga telah menguatkannya. Perhatikanlah nama-nama mereka:

  1. Al-Imân Ahmad
  2. At-Tirmidzî
  3. Ibnu Jarîr ath-Thabarî
  4. Ibnu Hibbân
  5. Al-Hâkim
  6. Ibnu Taimiyah
  7. Adz-Dzahabî
  8. Al-‘Asqalânî

Saya katakan: Saya telah memberi penjelasan panjang lebar tentang sahihnya hadis ini dengan metode ilmiah yang benar dan menyebutkan para ahli ilmu yang berpengetahuan yang telah mensahihkannya, karena saya melihat sebagian ulama belakangan yang tidal mengedepankan pendalaman terhadapnya berpendapat hadis ini lemah. Mereka antara lain Ibnu Khaldûn, sejarawan terkenal. Ia mengatakan di dalam Târikhnya (2/458, cetakan Fâs dengan komentar Syakîb Arsalân):

“Sungguh layak bagi kita untuk menyusulkan Daulah Mu’âwiyah dan berita-berita tentangnya dengan negara-negara para khalifah dan berita-berita tentang mereka, karena dia mengikuti mereka di dalam keutamaan, keadilan, serta persahabatan (dengan Nabi, pent.). Tidak perlu dipedulikan terkait hal itu, sebuah hadis (Khilafah itu tiga puluh tahun), karena hadis itu tidak sahih. Dan pada hakikatnya Mu’âwiyah terhitung sebagai para khalifah.”

 

Al-‘Allâmah Abû Bakr Ibn al-‘Arabî mengikuti pendapat tersebut. Beliau menyatakan di dalam al-‘Awâshim wa al-Qawâshim (h. 201): “Hadis ini tidak sah!”

Begitulah ia menyatakan pendapat dalam melemahkannya, tanpa menyebutkan ‘illatnya. Demikian itu sedikit pun bukan metode ilmiah. Padahal para ahli ilmu yang saya tahu telah mensahihkannya sebelumnya. Kawan kami, Ustadz Muhibbuddîn al-Khathîb berupaya untuk menyusulkan pelemahan ini dengan menjelaskan ‘illatnya, lalu ia membawa sesuatu yang seandainya memang seperti yang disebutkannya niscaya kami akan bersepakat dengannya dalam melemahkan hadis yang telah disebutkan. Ia mengatakan di dalam komentarnya terhadap kitab al-‘Awâshim min al-Qawâshim:

“Karena orang yang meriwayatkannya dari Safînah adalah Sa’îd ibn Jumhân (aslinya: Jumhân). Para ulama berselisih tentangnya. Sebagian ulama mengatakan: Tidak apa-apa. Sebagian yang lain menyatakannya tsiqah. Imam Abû Hâtim berkata tentangnya: Syaikh yang tidak bisa dijadikan hujah. Di dalam sanadnya terdapat Hasyraj ibn Nubâtah al-Wâsithî yang dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama. An-Nasâ`î berkomentar tentangnya: Tidak kuat. ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan khabar ini dari Suwaid ath-Thahhân. Al-Hâfizh Ibn Hajar berkata di dalam Taqrîb at-Tahdzîb: layyinul hadîts.

Aku katakan: Ia telah menunjukkan tiga cacat. Kami akan menjawabnya dengan jawaban yang bisa menyingkapkan hakikat kepadamu, in syâallâh.

 

Pertama, perbedaan pendapat tentang Sa’îd ibn Jumhân. Jawabannya, tidak setiap perselisihan tentang perawi itu membahayakan, tetapi perlu pencermatan dan tarjîh. Kami sebelumnya telah menyebutkan nama-nama beberapa Imam yang menyatakannya tsiqah, yaitu Ahmad, Ibnu Ma’în, Abû Dâwud. Di sini ditambahkan Ibnu Hibbân, ia menyebutkannya di dalam ats-Tsiqât dan an-Nasâî, ia menyatakan: “Tidak apa-apa”.

Berlawanan dengan mereka, perkataan al-Bukhârî: “Di dalam hadisnya ada keanehan-keanehan,” serta perkataan as-Sâjî: “Tidak boleh mengikuti hadisnya.”

Saya katakan: Ini adalah pencacatan (jarh) yang mubham (samar), tidak terperinci, sehingga tidak sah mengambilnya ketika berhadapan dengan pernyataan tsiqah dari orang-orang yang menyatakannya tsiqah, sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu Musthalah. Tambahan pula yang menyatakannya tsiqah banyak, dan akan bertambah jumlahnya apabila dikumpulkan kepada mereka siapa saja yang mensahihkan hadisnya, dengan pertimbangan bahwa pensahihan memerlukan persetujuan bahwa ia tsiqah sebagaimana yang tampak. Juga, Ibnu Jumhân sesungguhnya tidak menyendiri dengan hadis ini. Telah kami sebutkan dua syâhid bagi hadis ini sebagaimana yang telah lewat.

Kedua, bahwa di dalamnya ada Hasyraj ibn Nubâtah … Aku katakan: Ini pernyataan yang salah yang mengesankan bahwa ia menyendiri dengan hadis tersebut, padahal tidak demikian. Sekelompok perawi tsiqah telah membawakan hadis serupa sebagaimana telah berlalu isyaratnya di dalam pendahuluan takhrij ini. Sebelumnya telah disebutkan Ibnu Taimiyah rahimahullâh, mereka adalah Hammâd ibn Salamah, ‘Abdul Wârits ibn Sa’îd, al-‘Awwâm ibn Hawsyab, yang tiga orang di antara mereka ini mencocoki Hasyraj di dalam pokok hadis, sehingga tidak boleh mencacat hadis ini dengannya, sebagaimana tidak tersembunyi hal ini bagi pemula di dalam ilmu ini (ilmu hadi, pent.), lebih-lebih lagi bagi yang sudah menonjol. Bisa jadi Ustadz al-Khathîb tidak memperhatikan hadis-hadis lain yang kuat ini karena menyangka bahwa selama at-Tirmidzî meriwayatkannya dari jalan Hasyraj, maka demikian pula yang lainnya. Tetapi bagaimana tersembunyi baginya perkataan at-Tirmidzî sendiri di bagian akhir hadis sebagaiamana yang telah dinukil sebelumnya: “Telah meriwatkan tidak hanya satu orang dari Sa’îd ibn Jumhân.”?

Ketiga, bahwa ‘Abdullâh ibn Ahmad meriwayatkannya dari jalur Suwaid ath-Thahhân dan dia adalah layyinul hadîts (lemah hadisnya). Maka aku katakan: Hal itu bukan termasuk yang memahayakan hadis secara mutlak, karena  para ulama hadis sebelumnya telah menguatkan hadis pada mereka dan mereka sangat banyak yang telah meriwayatkan dari jalur yang banyak dan sahih dari Sa’îd ibn Jumhân, yang tidak ada di dalamnya Suwaid ini! Lalu apakah salah seorang perawi yang lemah membahayakan para perawi yang tsiqah karena perawi yang lemah itu menyertai mereka?

Maka telah terjelaskan dengan terang selamatnya hadis ini dari ‘illat yang merusak di dalam sanadnya, dan bahwa hadis ini sahih yang bisa digunakan untuk berhujah (muhtajj bih). Wa billâhi at-tawfîq.

Ustadz al-Khathîb juga menyatakan hadis ini cacat dengan jenis kecacatan lain pada matannya. Ia mengatakan:

“Hadis ini muhalhal (jelek), bertentangan dengan hadis sahih yang jelas dan fasih di dalam kitab al-Imârah dari Shahîh Muslim … dari Jâbir ibn Samurah ia mengatakan:

دخلت مع أبي على النبي صلى الله عليه وسلم فسمعته يقول : إن هذا الأمر لا

ينقضي حتى يمضي فيهم اثنا عشر خليفة … كلهم من قريش

Aku datang bersama bapakku kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, lalu aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan berakhir sampai berlalu pada mereka dua belas khalifah … Semuanya dari Quraisy.’

Ini adalah pertentangan yang tertolak karena di antara kaidah-kaidah yang telah ditetapkan di dalam ilmu mushthalah, adalah bahwa tidak boleh menolak hadis sahih dengan mempertentangannya dengan yang yang lebih sahih darinya, tetapi wajib dijamak (dikompromikan) dan ditawfîq (dicocokkan) antara keduanya. Inilah yang dilakukan oleh ahli ilmu dalam kasus seperti ini. Al-Hâfizh telah memberi isyarat di dalam al-Fath (13/182), menukil dari al-Qâdhî ‘Iyâdh tentang pertentangan tersebut, kemudian menjawab bahwasanya yang dimaksud dalam hadis Safînah adalah Khilafah Nubuwwah, meskipun di dalam hadis Jâbir ibn Samurah tidak ditaqyîd dengan hal tersebut.

Aku katakan: Kompromi ini kuat sekali (qawî jiddan), dikuatkan dengan lafal dari Abû Dâwud:

خلافة النبوة ثلاثون سنة …

Khilafah Nubuwwah adalah tiga puluh tahun …

Maka tidak boleh menafikan datangnya para khalifah setelah mereka, karena mereka (yang datang belakangan setelah Khulafâurrâsyidîn, pent.) bukanlah para khalifah nubuwwah, karena merekalah (khulafâurrâsyidîn) yang dimaksud oleh oleh hadis, bukan yang lain, sebagaimana telah jelas.

Perkataan Syaikhul Islam di dalam risâlahnya yang lalu menambah kejelasannya:

“Boleh menamakan (para pemimpin kaum Muslimin) setelah Khulafâur Râsyidîn dengan sebutan khulafâ` (para khalifah) dengan dalil hadis yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim di dalam dua kitab Shahîh karya keduanya, dari Abû Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, ia berkata:

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، و إنه لا نبي بعدي ، و ستكون خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : فوا ببيعة الأول فالأول، و أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم

Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, namun akan ada para khalifah dan akan banyak. Ia berkata: “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah baiat pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka terhadap apa yang telah Dia amanahkan kepada mereka untuk diurusi.”

Sabda beliau: fataktsur (lalu akan menjadi banyak) menunjukkan yang dimaksud adalah selain Khulafâurrasyidîn, karena mereka tidaklah banyak. Juga sabda beliau: Fû bibai’atil awwal fal awwal menunjukkan bahwa mereka diperselisihkan, sedangkan Khulafâurrasyidîn tidaklah diperselihkan.”

Wallâhu A’lamu bish Shawâb

Terjemahan ini selesai dengan izin Allah:

Miliran, 22 Sya’bân 1433 H/11 Juli 2012 M


[1] Teks yang ada pada kami tertulis مناكحة. Kami menduga ada kesalahan tulis sebab makna yang kami tahu tentang kalimat tersebut tidak cocok dengan kontek pembicaraan, sehingga kami memperkirakannya sebagai مناكرة dan kami terjemahkan sebagaimana di atas.

Tinggalkan komentar