Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah “Pantjaran”, yaitu majalah bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Pimpinan Muhammadiyah, Majelis Tabligh.
Bagi kaum Muhammadiyah perkataan, “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya pasti sudah tidak asing karena itulah yang menjadi tujuan persyarikatan Muhammadiyah. Bagi umum perkataan itu, juga tidak baru lagi karena sudah berkali-kali dalam berpuluh tahun terakhir ini didengungkan oleh pemimpin-pemimpin dan penganjur kaum muslimin, baik di dalam maupun di luar negeri.
Hanya saja anggapan dan gambaran orang masih berlainan tentang isi masyarakat Islam itu, terutama orang-orang yang tidak bercita-cita Islam. Bahkan ada, yang menyangka bahwa dengan terciptanya masyarakat Islam berarti manusia akan mundur beratus-ratus tahun yang lalu, diwaktu para Sultan masih berkuasa dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan memelihara harem yang berisi beratus-ratus gundik seperti apa yang tersebut dalam hikayat seribu satu malam. Ada juga orang yang merasa kuatir dunia ini akan sunyi kalau tercipta masyarakat Islam, karena yang ada akan hanya masjid dan madrasah, yang terdengar hanya suara mengaji dan adzan. Bioskop dan sandiwara akan ditutup, kaum wanita akan tetap di dapur dan terkekang, dibungkus bagai beras dalam karung. Beberapa ahli hukum menjerit-jerit mangatakan bahwa hukum Islam itu fasis dan kejam, telinga dengan telinga, hidung diganti hidung, pencuri dipotong tangannya, pembegal dihukum bunuh. Ini kejam dan tidak paedagogis, kata mereka.
Semua anggapan itu tidak dapat disesalkan, karena memang mereka itu sebenarnya belum banyak mengetahui tentang seluk beluk dan hikmah hukum Islam, baik yang mengenai pribadi maupun masyarakat serta perkembangan hukum-hukum itu dalam perubahan sejarah. Demikian juga mereka kurang sekali memerundingkan apa yang disangkanya masyarakat Islam itu, dengan masyarakat lainnya yang tidak berdasarkan hukum Islam. Lagi pula, memang belum ada penerangan yang luas dan jelas tentang masyarakat Islam yang sebenarnya itu, hingga tidak mengherankan bila orang masih meraba-raba tentang hal ini.
Akan tetapi, segala sesuatunya akan menjadi jernih bila orang suka mempertimbangkan hukum-hukum Islam itu dengan lebih obyektif dan pengetahuan yang cukup tentang hukum Islam dan hukum masyarakat serta mempertimbangkan soal-soal psikologis. Orang telah dapat menciptakan bermacam-macam ideologi dan stelsel kemasyarakatan dengan maksud untuk memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan dan kesejahteraan, bukan dengan maksud untuk memuaskan kesenangan semau-maunya hingga melampaui batas. Kita lihat umpamanya sosialisme, komunisme; kesemuanya itu diciptakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pelajaran tasawuf agama Budha, demikian pula ilmu-ilmu kebatinan yang beraneka warna, kesemuanya untuk mendidik pribadi di dalam hidup bermasyarakat agar manusia dapat hidup bahagia dan selamat dari segala macam penganiayaan. Tetapi, bila orang hanya semata-mata mengutamakan kesenangan hawa nafsu, maka menjadi tidak berhargalah segala ideologi dan ajaran-ajaran yang telah diciptakan orang itu.
Bila kebatinan manusia tidak dididik, maka segala ajaran itu, meskipun oleh golongan lemah dianggap sebagai pelindung bagi dirinya, tetapi oleh golongan kuat dan kaya merupakan paksaan yang merugikan. Umpamanya Undang-undang upah terendah dan jaminan bagi kaum buruh, oleh kaum buruh dianggap sebagai pelindung tetapi oleh majikan dirasakan menjadi paksaan yang merugikan. Orang kaya menganggap adil bila perdagangan perseorangan diberi kebebasan supaya berkembang dengan luas yang berarti juga menambah keuangan negara dengan pembayaran pajak dan cukai-cukai perniagaan, serta menolong masyarakat karena memberikan pekerjaan kepada kaum buruh. Tetapi berlawanan dengan itu, pedagang kecil dan kaum buruh berpendapat bahwa perekonomian bebas tidak lain hanya menggemukkan segolongan dan menguruskan golongan terbanyak. Segolongan menganggap menjadi haknya untuk lebih gemuk dari golongan lain, karena usahanya pun lebih, baik kapital maupun tenaga dan pikiran.
Tetapi, golongan lain itu berpendapat tiadalah boleh segolongan jauh melebihi gemuknya dari golongan lain, meskipun kapital dan usahanya lebih banyak, karena hak manusia sama, baik atas alam (sumber-sumber) maupun atas penghidupan.
Aturan-aturan, ajaran-ajaran dan stelsel-stelsel itu dianggap baik oleh segolongan bila menguntungkan golongan itu, dan dianggap buruk bila ternyata dianggap merugikan. Maka, ajaran dan stelsel manakah yang menguntungkan semua golongan? Tiada lain hanya ajaran dan stelsel ciptaan Allah, Tuhan sekalian alam, yang tidak menghajatkan adanya stelsel itu melainkan menciptakannya semata-mata untuk kebahagiaan hamba-Nya belaka. Agama Allah yang diturunkan kepada para Rasul berisi hukum-hukum pribadi dan hukum pergaulan hidup serta memuat ajaran berbakti kepada Allah dan kepercayaan yang suci dan murni. Diajarkannya hak dan kewajiban antara makhluk dengan makhluk serta kewajiban makhluk kepada khalik, demikian pula rahmat khalik kepada makhluk. Ajaran agama yang merupakan tuntunan lahir dan batin, pribadi dan bersama, sudah cukup jelas untuk menjadi pedoman bermasyarakat. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama mengekang perkembangan pikiran, melainkan segala pendapat akal harus disesuaikan atau sejalan dengan ajaran agama Allah yang telah memberikan akal itu kepada manusia.
Stelsel kemasyarakatan ciptaan manusia harus sejalan dan tidak menyimpang dari hukum-hukum Allah itu, agar berhasil di dalam usahanya untuk memberi kesejahteraan dan keamanan kepada dunia. Oleh karena itu: Masyarakat Islam yang sebenarnya ialah masyarakat, di mana hukum Allah berlaku dan dijunjung tinggi menjadi sumber dari segala hukum lainnya.l Bersambung
Kita tidak membatasi masyarakat dengan kata-kata negara, oleh karena yang pertama lebih luas dan telah mengandung yang kedua. Lahirnya masyarakat terlebih dahulu dari lahirnya negara, dan bernegara hanya menjadi alat untuk mengatur masyarakat itu. Sungguhpun negara hanya menjadi alat namun dia adalah alat yang mutlak, yang tak dapat ditinggalkan, karena masyarakat yang tidak berpemerintah pasti tidak akan teratur. Tanah yang ada penduduknya lebih dari seorang telah merupakan masyarakat, dan bila telah ada pemerintahannya maka menjadi sebuah negara. Adapun kewajiban pemerintah selain mengatur dan menjalankan hukum juga harus membimbing perkembangan masyarakat dengan pedoman yang tertentu. Maka harus ada perstuan antara hukum dan pedoman yang dipakai oleh pemerintah dengan hukum (adat) dan pedoman rakyat dengan masyarakat.
Agama Islam tidak hanya mengajarkan hukum dan pedoman yang harus diikuti, tetapi juga menuntun pendidikan jiwa dan ajaran akhlak yang mulia, bahkan yang lebih menguatkan kesemuanya itu ialah ajaran tentang adanya pertanggungjawaban diakhirat tentang perilaku manusia di dunia.
Oleh karena itu, segala urusan sampai kepada urusan politik dan ekonomi serta pembagian rezeki mempunyai pertanggungjawaban kepada Allah. Allah memberi kewajiban kepada manusia maka Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kewajiban itu. Allah memberikan alam seisinya ini bagi manusia seumumnya maka Allah akan meminta kepada manusia, perhitungan dan pertanggungjawaban pemakaian segala macam kekayaan itu.
Dalam soal kemasyarakatan ini ternyata bahwa kebaikan aturan stelsel manapun juga tidak akan menghasilkan buah sebagaimana yang dimaksud bila tidak dipegang oleh orang-orang yang konsekuen, adil dan berbudi serta takut kepada akibat dari tindakannya yang salah. Tetapi bila orang merasa bahwa akibat dari tindakannya yang salah itu masih dapat dielakkan atau disingkiri, niscaya ketakutan itupun akan hilang dan menyebabkan dia berani berbuat salah atau menyimpang dari perbuatan yang semestinya. Dalam hal ini kepercayaan kepada pembalasan Allah diakhirat yang tak dapat dielakkan itu, memaksa manusia bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak salah dan tidak berbuat yang menyimpang dari keadilan.
Hukum Allah mengandung:
1. Hukum Ibadah. Hukum ini menetapkan kewajiban manusia terhadap Allah dan cara-caranya.
2. Hukum Susila. Ialah batas-batas kesusilaan (akhlak) yang baik yang harus dipunyai oleh manusia.
3. Hukum Mu’amalah. Ialah hukum pergaulan hidup, yaitu tuntunan dan batas pergaulan dalam masyarakat agar tidak merugikan dan menganiaya orang lain.
4. Hukum Jinayat dan Hudud. Yaitu hukum pidana menetapkan dan mengatur hukuman bagi orang-orang yang melanggar undang-undang dan ketertiban, melakukan kejahatan atau melalaikan kewajiban yang telah ditentukan.
Sumber dari keempat macam hukum itu ialah agama Allah, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an yaitu firman-firman Allah yang memuat tuntunan dan induk segala hukum itu. Adapun Hadits yaitu sabda Nabi Muhammad dan contoh-contoh teladan yang telah dikerjakan oleh beliau untuk menjadi contoh dan teladan bagi manusia dalam menentukan hukum.
Oleh sebab itu masyarakat Islam ialah masyarakat yang menyerahkan diri kepada Allah, maju dan berkembang menurut hukum-hukum yang telah ditentukan itu.
Ikatan Dalam Masyarakat
Oleh karena masyarakat ialah pergaulan manusia, perhubungan seorang dengan lainnya, maka masyarakat memerlukan adanya ikatan yang mengikat antara anggota masyarakat itu seorang dengan lainnya. Ikatan itu dapat lahir dengan sendirinya dalam masyarakat setelah mereka yang bergaul itu belajar mengenali watak dan kebiasaan orang yang dilawannya bergaul, tetapi ada pula ikatan yang diciptakan terlebih dahulu oleh akal manusia setelah mendapat pertimbangan dari pengalamannya. Ikatan-ikatan itu sangat banyaknya dan bermacam-macam serta berlainan menurut keadaan, tempat serta kecerdasan, yang kesemuanya itu menjadi norma sosial atau peraturan hidup bermasyarakat yang harus ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Norma-norma itu misalnya ialah kesusilaan, adat istiadat, sopan santun, moral umum, ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.
Etika ialah pengetahuan tentang hal yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang boleh dan yang dilarang. Ia menjadi dasar yang utama untuk menciptakan norma-norma tersebut. Oleh karena itu etika (akhlak) juga menjadi salah satu faktor yang penting dalam masyarakat.
Adapun agama Islam ialah tuntunan dan peraturan hidup, baik untuk hidup perseorangan maupun bermasyarakat, keinsyafan kearah ketuhanan dan pengabdian kepada Allah, menerangkan yang baik dan yang tidak, menunjukkan cara hidup yang sebaiknya dan jalan menuju keselamatan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, agama juga mengandung etika dan norma-norma sosial yang akan membimbing masyarakat. Hanya bedanya ialah bahwa norma-norma agama Islam itu datang dari luar diri manusia (heteronomis), yaitu dari Allah, tetapi juga tidak mengabaikan norma-norma lainnya dari dalam diri manusia (autonomis).
Dengan meletakkan norma-norma ajaran Allah itu, Islam akan menyelaraskan perkembangan masyarakat dengan hukum Allah, yaitu tidak hanya akan menghasilkan teraturnya masyarakat, tetapi juga akan membuahkan kebahagiaan dan keadilan yang sempurna, yang tak dapat dicapai oleh norma-norma ciptaan manusia.
Ahli falsafah Kahn mengadakan pemisahan antara keharusan dan kenyataan. Yang dimaksud dengan “keharusan” ialah norma-norma tersebut di atas, dan “kenyataan” ialah apa yangsebenarnya terjadi dalam masyarakat. Maka segala norma tersebut harus dijelmakan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, segala yang disebut norma sosial harus bersifat werkelijk, yaitu mungkin dan dapat dilaksanakan. Tetapi norma-norma yang diletakkan oleh agama Islam selain bersifat dapat dan mungkin dilaksanakan, juga mengandung hikmah kebijaksanaan dan keadilan, karena Islam suci dan bersih dari sifat ingin memiliki, sebab yang menyiptakannya ialah Allah yang tidak mempunyai keinginan memiliki dunia seperti manusia.
Norma sosial menurut ajaran Islam ini ditujukan kepada perseorangan (individu) dan masyarakat. Oleh karena menurut ajaran Islam kebaikan masyarakat tidak hanya tergantung kepada baiknya hukum dan aturan yang berlaku, melainkan terlebih lagi bergantung kepada pribadi dan budi individu. Oleh karena itu selain semua hukum-hukum Islam merupakan ketentuan yang harus ditaati, juga merupakan pendidikan pribadi yang akan membuahkan kesadaran individu. Dengan kesadaran ini setiap anggota masyarakat akan dapat taat dengan tidak usah terpaksa baik oleh lingkungan maupun oleh Undang-undang.
Akibat Pelanggaran dan tentang Menilai Norma.
Pelanggaran seseorang atas ketentuan hukum yang berdasarkan norma sosial tersebut di atas harus mengakibatkan hukuman atas orang itu. Untuk menghukum seseorang harus diperlukan adanya kekuasaan yang diakui dalam masyarakat. Oleh karena itu adanya kekuasaan atau pemerintah menjadi faktor yang terpenting. Maka wujud hukuman ini berlainan menurut macamnya norma sosial, umpamanya:
a. Menurut ajaran etika, hukuman ialah penyesalan dalam hati. Siapa yang melanggar hukum atau berbuat kelakuan yang bertentangan dengan salah satu norma tersebut, ia akan menyesal dengan tidak putusnya.
b. Menurut hukum kenegaraan, hukumannya ialah dipenjara, didenda dan sebagainya.
c. Menurut adat istiadat ialah diasingkan dari pergaulan. Siapa yang berbuat melanggar adat niscaya diasingkan dari pergaulan oleh masyarakat.
d. Menurut ajaran agama, siapa yang melanggar hukum dan menerima siksa diakhirat.
Disamping itu agama Islam juga mengatur hukuman-hukuman di dunia yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hukuman di dunia dilakukan untuk memelihara ketertiban dan keamanan serta untuk melindungi si lemah dari penganiayaan; bukan hanya itu, menurut hukum Islam, hukuman juga dikenakan kepada orang yang melalaikan kewajibannya terhadap masyarakat seperti orang kaya yang sengaja meninggalkan zakat. Ajaran tentang adanya siksa dan pahal diakhirat merupakan keimanan yang menjamin tiap-tiap anggota masyarakat untuk menetapi norma-norma sosial dan norma pribadi yang telah diletakkan oleh agama.
Kalau kita hendak mengetahui sampa ke mana tinggi nilai sejati dari segala norma yang bermacam-macam corak dan dasarnya itu, maka kita harus meninjau sifat dan wujudnya norma-norma itu serta meninjau pula sanksinya, yaitu apa hukumannya bila dilanggar. Kemudian memperbandingkan faedahnya bila norma-norma itu dipenuhi, dengan akibatnya kepada masyarakat dan individu bila norma-norma itu diabaikan atau dilanggar.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua norma-norma itu berupa perintah dan larangan. Kalau kita tinjau segla larangan yang terdapat dalam Islam maka ternyatalah kepada kita bahwa jika larangan itu dikerjakan oleh manusia tentu akan mendatangkan kerusakan dan kerugian yang mengenai individu dan masyarakat.
Demikian pula segala perintah agama bila dilaksanakan pasti akan membawa faedah dan kesejahteraan. Jadi bukanlah segala hukum Islam itu hanya berdasarkan formalitas atau kepantasan belaka seperti pada hukum adat istiadat, atau berdasarkan “agar tidak merugikan orang lain” dan “keamanan dan nketertiban” saja seperti pada hukum kenegaraan, tetapi selain berdasar itu semua juga berdasarkan adanya mudlarat dan manfaat, mensucikan batin dan jiwa, keridhoan Allah, memberi kelapangan dan kemudahan. Maka dengan meninjau dan memperbandingkan dasar, wujud dan sanksi sepetti tersebut di atas semua itu, dapatlah ditetapkan bahwa diantara segala macam norma-norma sosial, maka agamalah yang tertinggi nilainya, dan hukum agama (hukum Allah) ialah satu-satunya hukum yang harus dijadikan induk bagi segala hukum dan undang-undang di dunia jika manusia benar-benar menghendaki keselamatan dan kesejahteraan.
Dasar dan Tujuan Hukum Islam
Marilah kita meninjau dasar dan tujuan hukum Allah menurut yang tersebut dalam Al-Qur’anul Karim. Firman Allah:
1. “Aku tidak turunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya kamu mendapat kesukaran”. (Qs. Thoha: 2)
2. “Allah memerintahkan kamu berbuat kebaikan dan melarang kamu berbuat kejahatan, dan
menghalalkan yang baik serta mengharamkan yang buruk”. Qs. Al-A’rof: 157)
3. “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tiada menghendaki kesukaran”. (Qs. Al-Baqarah:
185)
4. “Allah tidak menghendaki agama memberi kesempitan kepada kamu”. (Qs. Al-Haj: 78)
5. “Kitab ini (Al-Qur’an) tidak ragu-ragu lagi niscaya menjadi petunjuk bagi orang yang takut”. (Qs. Al-Baqarah: 2)
Dimaksud dengan “petunjuk” ialah petunjuk kepada kebenaran dan kebahagiaan, dan orang yang takut ialah mereka yang menetapi perintah dan menajuhi larangan yang tersebut dalam Al-Qur’an.
Yang tersebut di atas itu hanya sebagian kecil saja dari amat banyaknya ayat-ayat firman Allah yang menerangkan dasar dan tujuan hukum Islam. Dasar dan tujuan hukum Islam dapat disimpulkan:
1. Memudahkan serta menghilangkan kesukaran.
2. Menjauhkan yang buruk dan mengambil yang baik.
3. Memberikan petunjuk kepada hidup perseorangandan kepada masyarakat, serta menuntunnya kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Memberi kemudahan dan menghilangkan kesukaran tidak berarti membiarkan manusia berbuat semaunya, asal mudah dan ringan, tetapi berarti meletakkan hukum yang mudah dijalankan, mudah diterima oleh akal yang sehat, menjadi cara yang semudah-mudahnya untuk mencapai kebahagiaan diri dan kesejahteraan masyarkat. Tidak ada hukum yang tidak membatasi, maka menjaga berlakunya hukum serta mentaati hukum adalah pekerjaan yang tidak ringan, bahkan terasa berat karena membatasu kebebasan hawa nafsu; tetapi namun demikian harus dijalankan dan ditaati guna mencapai ketertiban dan kesejahteraan.
Maka dalam hal ini Islam membawa hukum-hukum yang mudah dijalankan dan mudah pula ditaati jika dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, serta akan dapat mencapai hasil yang jauh lebih baik dalam waktu yang lebih singkat. Makin jauh dan dalam kita menyelidiki hukum-hukum Islam itu, bertambah nyata bahwa segala undang-undang dan peraturan yang lahir dari induknya (Al-Qur’an dan Hadits) tidak merupakan perlindungan bagi kaum yang mempunyai milik dari gangguan yang mungkin timbul dari mereka yang tidak bermilik, tetapi perlindungan dan tuntunan bagi kedua pihak. Demikian juga tujuan norma-norma sosial dalam Islam tidak hanya ketertiban sosial melainkan lebih jauh daripada itu, ialah masyarakat yang baik, amandan bahagia, dilindungi oleh ampunan Allah yang Maha Esa.
Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur
Baldatun Thayyibah artinya negeri yang baik. Thayyibah mengandung arti: berfaedah, bagus dan bersih serta tidak ada mengandung madlarat. Baldatun Thayyibah atau negeri yang baik ialah negeri yang memberi manfaat kepada segenap rakyatnya, bagus dan rapi aturan serta susunannya, bersih dari undang-undang dan perlakuan yang tidak adil, diperintah serta diatur dengan ikhlas bersih dari kepentingan perseorangan atau golongan sehingga tidak memberi madlarat kepada rakyat umumnya.
Rabbun Ghafur ialah Allah yang maha pengampun, yang melindungi hamba-Nya yang beriman dan berbuat kebaikan, berbakti kepada-Nya dan mau menerima serta menjunjung tinggi hukum-hukum-Nya. Negeri yang baik pasti mendapat perlundungan Allah yang maha pengampun sebagai negeri itu disusun dan ditur dengan berpedoman pada hukum-hukum Allah. Negeri ataupun negara ialah masyarakat yang dibuat dan diatur oleh manusia, diperbaiki dan dimajukan oleh manusia juga, dan apabila masyarakat itu rusak binasa maka manusia juga yang merusaknya. Tidak kuasa manusia menahan kerusakan yang dibuat oleh manusia lainnya. Bebebrapa golongan manusia berkata hendak memperbaiki masyarakat tetapi dalam praktiknya merusak dan menambah keruhnya suasana, baik disengaja atau tidak. Beberapa golongan lagi berkata hendak mengadakan perbaikan tetapi sebenarnya mencari keuntungan dan kekuasaan. Beberapa golongan berkata hendak melindungi, tetapi sebenarnya menganiaya dan memeras. Beberapa golongan berkata akan membela dan menjelmakan keamanan, tetapi sebenarnya untuk mengabadikan kekuasaan dan keunggulannya,serta menambah atau setidaknya menjaga agar daerah jajahannay tidak berkurang. Salah satu pihak mengatakan keadaan masyarakat rusak dan buruk, pihak lain mengatakan itulah yang baik dan maju.
Apakah mereka sebenarnya memperbaiki atau merusak, mencari kesejahteraan bersama atau mencari keuntungannya sendiri, melindungi atau menganiaya, mengamankan masyarakat atau mengekalkan kekuasaan dan daerahnya sendiri, membawa masyarakat kepada kebaikan atau keburukan, maju atau mundur? Untuk menjawab soal-soal tersebut di atas, manusia memerlukan norma-norma agama yang berisi hukum-hukum Allah, karena bila memakai pendapat manusia tentulah jawab yang diperoleh tidak akan tepat dan benar. Kekacauan dan keribuatan bukanlah disebabkan perselisihan pendapat manusia? Bila manusia telah mau mengembalikan pendapatnya kepada hukum-hukum Allah, bila masyarakat telah diatur dan disusun dengan berpedoman hukum-hukum Allah, niscaya aman dan sejahteralah dunia; itulah yang dikehendaki oleh Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur.
Ketundukan manusia kepada hukum Allah menjadi syarat mutlak terciptanya negara yang baik di bawah perlindungan Allah yang maha pengampun. Dalam masyarakat yang agama menjadi dasar dan pedoman, tujuannya tidak hanya diutamakan kepada kesejahteraan lahir yaitu kemakmuran bersama, tetapi juga kesejahteraan batin yang amat dibutuhkan bagi manusia yang hidup. Bahkan dengan tidak adanya kesejahteraan batin ini, segala ikhtiar untuk mencapai kemakmuran akan sia-sia belaka, oleh karena hanya manusia yang sejahtera dalam kebatinannya dapat merasa makmur dan cukup bila keperluan hidupnya telah dipunyai, dan merasa bersyukur serta rela menolong orang lain bila yang dimiliki ternyata melebihi dari keperluan hidupnya. Tetapi orang yang batinnya tidak aman, tidak akan merasa cukup meskipun yang telah dimilikinya itu berlebih-lebihan, bahkan dia masih hendak menambah kekayaannya lagi dengan tidak memikirkan nasib kawan-kawannya yang kekurangan, tidak mau atau kepada baik atau buruk, halal dan haram, asal dapat menambah hartanya.
Hukum Allah yang dapat menentukan apakah manusia benar-benar berbuat baik untuk masyarakat atau hanya untuk dirinya. Hukum Allah mengajarkan bahwa menolong dan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang kekurangan itu satu kewajiban, bukan kedermawanan, tetapi satu keharusan yang dilindungi oleh undang-undang. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala ketamakan dan aniaya akan dibalas dengan hukuman, meskipun dapat terlepas dari jaring undang-undang ciptaan manusia. Hukum Allah mengajarkan bahwa adanya rumah-rumah sakit, rumah-rumah pemeliharaan dan pertolongan, pabrik-pabrik keperluan hidup dan hal-hal yang menjadi kepentingan umum, hukumnya wajib kepada segenap anggota masyarakat untuk mengadakannya, dan tetap akan tinggal wajib sebelum diadakan dengan mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat baik ditengah kota maupun dipelosok dusun. Pemegang kuasa dalam masyarakat berkewajiban melaksanakan ini. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala manusia sama harga dan nilainya,tidak seorang lebih mulia darilainnya, kemuliaan terletak kepada siapa saja yang menjalankan perintah Allah dengan patuh dan menyingkiri larangan-Nya dengan hati-hati. Hukum Allah mengajarkan bahwa judi dan arak harus dilarang karena berbahaya kepada manusia dan msyarakat, meski bagaimanapun banyaknya hasil yang diperoleh dari judi dan arak itu, karena tujuan hukum Allah hanya keselamatan masyarakat bukan banyaknya uang masuk. Hukum Allah mengajarkan agar anggota masyarakat sayang menyayangi satu sama lain, persengketaan tak boleh lebih dari tiga hari. Kekuasaan harus mendamaikan dua orang yang bermusuhan atau bersengketa setelah habis waktu tiga hari itu. Hukum Allah mengajarkan bahwa poligami diizinkan dan perzinahan serta pelacuran harus diberantasdan dihukum orang yang menjalankan kekejian itu. Hukum Allah mengajarkan bahwa setiap orang akan dituntut semua perbuatannya yang salah dan dituntut pertanggunganjawabnya mengenai pimpinannya kepada keluarganya, pengikut dan rakyatnya. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala macam kesenangan hidup itu mubah, artinya boleh dilakukan asal tidak melebihi batas kesusilaan yang telah ditentukan. Hukum Allah memberi garis dengan jelas yang meisahkan antara kemajuan dan kesesatan serta keruntuhan, pemisahan antara hawa nafsu dan kemaslahatan. Dan akhirnya hukum Allah mengajarkan bahwa kebangsaan tidak boleh dipergunakan untuk memecah belahkan manusia karena akan menimbulkan permusuhan atau merenggangkan persaudaraan.
Dari Siapa Manusia Mengharapkan Keadilan?
Manusia mencari keadilan tetapi tak mungkin diperolehnya keadilan itu selain dalam hukum Allah, sebab Allah tidak butuh kepada kekayaan alam ini. Bahkan Dia menciptakan untuk keperluan dan kesenangan hamba-Nya.Manusia mencarikeadilan, tetapi bila keadilan itu nanti merugikan dia atau mengurangi keuntungannya, ia tolak keadilan itu! Dan mengatakan tidak adil! Pandangan manusia tentang keadilan berlain-lain, karena bukanlah kebenaran yang menjadi ukuran, melainkan kepentingan dan ketamakan dirinya. Padahal mereka sama-sama berseru mencari keadilan dan memegang teguh keadilan seakan-akan keadilan itu hanya sesuatu hal yang relatif, tergantung kepada perasaan dan pandangan masing-masing; berlainan tempat tegak berlainan yang kelihatan. Makin tua umur dunia, semua menjadi relatif. Kebenaran, kebaikan, keadilan, kesopanan; kesemuanya itu relatif. Akhirnya segala norma-norma sosial akan menjadi kabur dan hilang sama sekali, dan manusia akan hidup tanpa norma.*****
Source: http://suara-muhammadiyah.com/?m=200808&paged=2., melalui mesin pencari google.
Komentar Terbaru