Archive for the ‘Artikel’ Category

SEKHUSYUK NABI

SEKHUSYUK NABI

1. Belum ada orang yang bisa mengimami shalat sekhusyuk Kanjeng Nabi. Maka, syarat untuk menegakkan shalat berjamaah belum terpenuhi. Kesimpulan: shalat berjamaah itu tidak wajib.

2. Belum ada yang bisa memimpin negara sehebat Kanjeng Nabi. Maka, syarat untuk menegakkan Khilafah belum terpenuhi. Kesimpulan: menegakkan Khilafah tidak wajib.

3. Dua pernyataan di atas bisa saja disetujui atau tidak disetujui.

4. Jika setuju yang pertama, harus juga setuju yang kedua. Demikian pula sebaliknya.

5. Jika tidak setuju salah satunya saja, saya yakin tidak seorang pun yang punya alasan logisnya.

6. Dan karena dalil syar’i maupun qaul para ulama tidak pernah ada yang mensyaratkan shalat jamaah itu imamnya harus sekhusyuk Nabi

7. Tidak juga ada dalil syar’i maupun qaul para ulama yang mensyaratkan Khilafah itu harus dipimpin kepala negara sehebat Nabi

8. Maka sikap saya menolak poin pertama maupun kedua. Itu pasti.

9. Ya Allah ampuni hamba. Perbaiki agama, dunia, dan akhirat hamba. Jika tidak kepada Engkau, kepada siapa lagi hamba meminta?

 

Mataram Islam, 05 Ramadhān 1438 H/31 Mei 2017 M 07.09 WIB

POLITIK DAN KEBANGKITAN

Sebuah catatan yang kutulis sebagai pengantar edisi terjemahan kitab Afkaar Siyaasiyyah karya Syaikh ‘Abdul Qadiim Zalluum, diterbitkan oleh Penerbit Quwwah pada bulan Maret 2017 M.
POLITIK DAN KEBANGKITAN
(Pengantar Penerbit Quwwah)
 
Buku Pemikiran Politik Islam ini adalah terjemahan Political Thoughts, yang aslinya merupakan kitab berbahasa Arab berjudul Afkâr Siyâsiyyah karya Syaikh ‘Abdul Qadîm Zallûm –rahimahullâh. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia pernah diterbitkan oleh Penerbit Al-Izzah, Bangil. Meski tidak banyak, beberapa perbaikan kami lakukan. Pembagian tema yang sebenarnya tidak ada di kitab aslinya, kami tambahkan untuk memudahkan pembaca memilih bagian mana yang lebih dulu akan dibacanya, meski semua bagian tetap penting. Lebih dari itu, kami tertarik untuk menerbitkan kembali buku ini mengingat saat ini gairah kembali kepada Islam mulai kembali tampak dengan gegap gempita, dan buku ini sangat penting untuk memberi tambahan asupan pemikiran dan agenda ke depan umat Islam, yaitu menyempurnakan usaha membangkitkan kembali peradaban Islam. Melalui kata pengantar ini, kami ingin sedikit mengulas kaitan buku ini dengan agenda besar itu.
 
Kita, kaum muslimin yang ditakdirkan hidup pada masa kemunduran dunia Islam, sudah punya jawaban apabila disodori pertanyaan mengapa saat ini umat Islam terpuruk? atau bagaimana caranya membangkitkan umat Islam kembali? Semuanya sepakat, pernyataan Imam Malik berikut ini cocok untuk menjawab dua pertanyaan tersebut. Beliau pernah menyatakan: lan yashluha âkhiru hadzihil ummah illâ bimâ shaluha bihi awwaluhâ ‘tidak akan baik generasi penerus umat ini kecuali dengan sesuatu yang menjadikan generasi pertamanya baik’.
 
Praktisnya, bila kita menerjemahkan pernyataan Imam Malik yang masyhur tersebut untuk menjawab dua pertanyaan di atas, kita akan mendapatkan jawaban yang terang bahwa: umat Islam saat ini terpuruk adalah karena tidak menjalankan sesuatu yang dahulu dijalankan oleh generasi pertama umat ini. Juga: cara membangkitkan umat Islam kembali adalah dengan cara menjalankan lagi sesuatu yang dahulu pernah dijalankan oleh generasi pertama umat ini. Tidak ada muslim yang memahami agamanya, yang akan menolak pernyataan tersebut.
 
Hanya saja, apa tepatnya “sesuatu yang dahulu dijalankan oleh generasi pertama umat ini” tersebut? Apa yang dulu pernah diamalkan oleh para Sahabat Nabi namun tidak diamalkan oleh umat Islam sekarang ini? Apabila pertanyaan ini diajukan kepada Syaikh ‘Abdul Qadîm Zallûm, dan kita minta beliau untuk menyebut satu kata saja, barangkali beliau akan memilih: politik. Setidaknya itulah yang tergambar setelah kita membaca tuntas buku Afkâr Siyâsiyyah yang terjemahannya sekarang ada di tangan pembaca ini.
 
Mengapa politik? Dan apa hubungannya dengan kebangkitan? Sedikit kita menoleh jauh ke belakang, ke zaman generasi terbaik umat ini, generasi para Sahabat, dengan bertanya: Siapa sahabat terbaik Rasulullah? Apabila kita hanya dibolehkan menyebutkan empat nama, mereka tentulah Abû Bakr ash-Shiddîq, ‘Umar al-Farûq, ‘Utsmân Dzû an-Nûrayn, serta ‘Alî Abû Turâb–semoga Allah meridhai mereka semua. Masing-masing dari mereka pernah menjadi pemimpin politik pada zamannya, meneruskan kepemimpinan politik Rasulullah. Itu karena, pasca-hijrah, Rasulullah sendiri adalah kepala negara. Negara adalah institusi politik paling terang dan paling berwenang. Adapun mengenai peristiwa hijrah, mustahil ada pengamat sejarah yang menolak bahwa hijrah itulah titik-tolak kebangkitan dan kejayaan kaum muslimin.
 
Karena mengubah kedudukan Rasulullah yang semula hanya sebagai ‘rakyat jelata’ menjadi pemimpin politik tertinggi di Madinah, maka hijrah dengan lugas terbaca sebagai aktivitas sekaligus peristiwa politik. Oleh karena hijrah itu sendiri juga menjadi titik-tolak kebangkitan kaum muslimin, maka amal politik ini juga tak terelakkan untuk disebut sebagai pangkal kebangkitan kaum muslimin. Di sinilah politik dan isu kebangkitan bertemu.
Maka tidak heran, Syaikh ‘Abdul Qadîm Zallûm, ulama aktivis yang namanya juga tercatat sebagai penulis buku Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Bagaimana Khilafah Diruntuhkan) ini menunjuk Baca lebih lanjut

Islam dalam Sastra Anonim Kejawen

p-6

Islam Dalam Sastra Anonim Kejawen

Sumber

Dallikal, yen turu nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi, tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis wuda jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala (Darmagandhul).

(Dzalikal : jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit), kitabu la, kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi : perempuan yang pakai kain, hudan : telanjang (wuda), lil muttaqien : sesudah telanjang, kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita (diterjemahkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam Islam dan Kebatinan, hal. 17)

Menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan adalah ciri utama dalam serat Darmagandhul, sebuah sastra anonim yang ditulis abad Misi, sebuah masa di mana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi dan politik kristenisasi berjalan sangat intens. Istilah-istilah kunci dalam agama Islam, diputar balikkan maknanya oleh Darmagandhul dengan metode othak-athik gathuk seperti istilah sadat sarengat (syahadat dan syari’at) diartikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya berdiri), tarekat itu taren kang estri (mengajak istri bersetubuh), sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di tanah arab. Selain Darmagandhul, juga ada serat Gatoloco, di mana dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah diartikan ala, yang rupanya jelek, yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki, sedangkan naik haji ke Mekah diartikan sebagai proses persetubuhan di mana poisisi istri saat bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967 : hal. 9-39).

Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa, tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830. Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya. Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam paksa mengharuskan para petani menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah ditentukan pemerintah Belanda. Untuk menjalankan politik tanam paksa ini, pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati mejadi ningrat, dengan syarat para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda. Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013 : 12). Belanda menangguk untung yang besar dengan politik tanam paksa ini, utang VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda bertambah sebesar 664.500.000 gulden.

Proses penganakemasan kalangan bupati dan para ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995 : 56). Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan masyarakat Jawa ke agama Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje, di mana menurut Snouck dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi. Pendidikan juga akan menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum aristokrat Indonesia. Selain itu posisi mereka yang relatif “bersih” dari pengaruh Islam, para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai rekanan (Shihab, 1998 : 86)

Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang mengagumkan, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul, yang merendahkan dan mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini bahwa orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).

Pemilihan Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya, kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat banyak. Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan londo wurung jowo tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya menjadi orang Jawa, lali jawane (orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan sebagainya. Mereka juga sering dijuluki toewan gendjah (tuan yang belum matang) (Aritonang, 2006 : 99). Agar tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya, para priyayi tersebut menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan Ricklefs,

“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumentalis daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, bilakah ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen. Bupati tersebut menjawab, “Ah, ….. sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan daripada satu istri dan tiga Tuhan.” (Ricklefs, 2012:52)

Sastra Kejawen, Penginjilan Jalan Memutar

Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur Jendral Van den Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupakan ketua di Nederland Bijbelgenootschap. Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). Pada 27 Februari 1832. Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007 :127). Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan” makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 : 7-9)

Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda dalam mengolah sastra Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert dengan Kuchuk Hanum, pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Erward Said, dalam magnum opusnya, Orientalisme. Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si pelacur, tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya, kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert. Akan tetapi, kondisi Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya. (Said, 2010 : 8) Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu suratnya kepada temannya di Eropa.

“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak cara yang halus mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka. Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998 : 96)

Dan arah dari sastra anonim seperti Darmagandhul ini, oleh Susiyanto, dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmagandul menunjukkan beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa.

Serat ‘Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi, Isa Rahu’llahu. (Anonim, 1955:6) yang artinya Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah. “Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ….”(Anonim, 1955:93). Yang artinya, “Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, nasrani)”

Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX yang didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad- oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan, dengan hukuman tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus, bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek. (Said, 2010 : 101-102).

Penutup

Meskipun sebagai sastra anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi sampai hari ini, baik Darmagandhul maupun Gatoloco masih terus direproduksi. Bukan hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat tersebut juga ditulis oleh banyak pihak. Perbenturan antara Jawa dengan Islam dalam kedua serat tersebut, menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono. Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995: xxii).

Namun, sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan, menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal, ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya. Dari hari ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin, sehingga dari hari ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen. Proses kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg. Kemandegan ini akan merugikan dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan rumah di tanah Jawa.

Boyolali, 12-Jnuari-2014

Daftar Pustaka

Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung : Mizan, 1998)

Anonim, Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri : Penerbit Tan Khoen Swie, 1955)

Erdward Said, Orientalisme, Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010).

George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)

H.M. Rasjidi, Prof. Dr, Islam dan Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967)

Jans Aritonang, Pdt. Dr, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006)

Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan, 1995)

M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013)

Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 20017)
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995)

Susiyanto (Tesis), Misi Kristen dan Orientalisme dalam Serat Darmagandhul, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010).

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997).

Masyarakat Islam yang Sebenarnya

Oleh: Djarnawi Hadikusuma

Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah “Pantjaran”, yaitu majalah bulanan yang diterbitkan oleh Pusat Pimpinan Muhammadiyah, Majelis Tabligh.

Bagi kaum Muhammadiyah perkataan, “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya pasti sudah tidak asing karena itulah yang menjadi tujuan persyarikatan Muhammadiyah. Bagi umum perkataan itu, juga tidak baru lagi karena sudah berkali-kali dalam berpuluh tahun terakhir ini didengungkan oleh pemimpin-pemimpin dan penganjur kaum muslimin, baik di dalam maupun di luar negeri.
Hanya saja anggapan dan gambaran orang masih berlainan tentang isi masyarakat Islam itu, terutama orang-orang yang tidak bercita-cita Islam. Bahkan ada, yang menyangka bahwa dengan terciptanya masyarakat Islam berarti manusia akan mundur beratus-ratus tahun yang lalu, diwaktu para Sultan masih berkuasa dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan memelihara harem yang berisi beratus-ratus gundik seperti apa yang tersebut dalam hikayat seribu satu malam. Ada juga orang yang merasa kuatir dunia ini akan sunyi kalau tercipta masyarakat Islam, karena yang ada akan hanya masjid dan madrasah, yang terdengar hanya suara mengaji dan adzan. Bioskop dan sandiwara akan ditutup, kaum wanita akan tetap di dapur dan terkekang, dibungkus bagai beras dalam karung. Beberapa ahli hukum menjerit-jerit mangatakan bahwa hukum Islam itu fasis dan kejam, telinga dengan telinga, hidung diganti hidung, pencuri dipotong tangannya, pembegal dihukum bunuh. Ini kejam dan tidak paedagogis, kata mereka.

Semua anggapan itu tidak dapat disesalkan, karena memang mereka itu sebenarnya belum banyak mengetahui tentang seluk beluk dan hikmah hukum Islam, baik yang mengenai pribadi maupun masyarakat serta perkembangan hukum-hukum itu dalam perubahan sejarah. Demikian juga mereka kurang sekali memerundingkan apa yang disangkanya masyarakat Islam itu, dengan masyarakat lainnya yang tidak berdasarkan hukum Islam. Lagi pula, memang belum ada penerangan yang luas dan jelas tentang masyarakat Islam yang sebenarnya itu, hingga tidak mengherankan bila orang masih meraba-raba tentang hal ini.

Akan tetapi, segala sesuatunya akan menjadi jernih bila orang suka mempertimbangkan hukum-hukum Islam itu dengan lebih obyektif dan pengetahuan yang cukup tentang hukum Islam dan hukum masyarakat serta mempertimbangkan soal-soal psikologis. Orang telah dapat menciptakan bermacam-macam ideologi dan stelsel kemasyarakatan dengan maksud untuk memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan dan kesejahteraan, bukan dengan maksud untuk memuaskan kesenangan semau-maunya hingga melampaui batas. Kita lihat umpamanya sosialisme, komunisme; kesemuanya itu diciptakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pelajaran tasawuf agama Budha, demikian pula ilmu-ilmu kebatinan yang beraneka warna, kesemuanya untuk mendidik pribadi di dalam hidup bermasyarakat agar manusia dapat hidup bahagia dan selamat dari segala macam penganiayaan. Tetapi, bila orang hanya semata-mata mengutamakan kesenangan hawa nafsu, maka menjadi tidak berhargalah segala ideologi dan ajaran-ajaran yang telah diciptakan orang itu.

Bila kebatinan manusia tidak dididik, maka segala ajaran itu, meskipun oleh golongan lemah dianggap sebagai pelindung bagi dirinya, tetapi oleh golongan kuat dan kaya merupakan paksaan yang merugikan. Umpamanya Undang-undang upah terendah dan jaminan bagi kaum buruh, oleh kaum buruh dianggap sebagai pelindung tetapi oleh majikan dirasakan menjadi paksaan yang merugikan. Orang kaya menganggap adil bila perdagangan perseorangan diberi kebebasan supaya berkembang dengan luas yang berarti juga menambah keuangan negara dengan pembayaran pajak dan cukai-cukai perniagaan, serta menolong masyarakat karena memberikan pekerjaan kepada kaum buruh. Tetapi berlawanan dengan itu, pedagang kecil dan kaum buruh berpendapat bahwa perekonomian bebas tidak lain hanya menggemukkan segolongan dan menguruskan golongan terbanyak. Segolongan menganggap menjadi haknya untuk lebih gemuk dari golongan lain, karena usahanya pun lebih, baik kapital maupun tenaga dan pikiran.

Tetapi, golongan lain itu berpendapat tiadalah boleh segolongan jauh melebihi gemuknya dari golongan lain, meskipun kapital dan usahanya lebih banyak, karena hak manusia sama, baik atas alam (sumber-sumber) maupun atas penghidupan.

Aturan-aturan, ajaran-ajaran dan stelsel-stelsel itu dianggap baik oleh segolongan bila menguntungkan golongan itu, dan dianggap buruk bila ternyata dianggap merugikan. Maka, ajaran dan stelsel manakah yang menguntungkan semua golongan? Tiada lain hanya ajaran dan stelsel ciptaan Allah, Tuhan sekalian alam, yang tidak menghajatkan adanya stelsel itu melainkan menciptakannya semata-mata untuk kebahagiaan hamba-Nya belaka. Agama Allah yang diturunkan kepada para Rasul berisi hukum-hukum pribadi dan hukum pergaulan hidup serta memuat ajaran berbakti kepada Allah dan kepercayaan yang suci dan murni. Diajarkannya hak dan kewajiban antara makhluk dengan makhluk serta kewajiban makhluk kepada khalik, demikian pula rahmat khalik kepada makhluk. Ajaran agama yang merupakan tuntunan lahir dan batin, pribadi dan bersama, sudah cukup jelas untuk menjadi pedoman bermasyarakat. Tetapi ini tidak berarti bahwa agama mengekang perkembangan pikiran, melainkan segala pendapat akal harus disesuaikan atau sejalan dengan ajaran agama Allah yang telah memberikan akal itu kepada manusia.

Stelsel kemasyarakatan ciptaan manusia harus sejalan dan tidak menyimpang dari hukum-hukum Allah itu, agar berhasil di dalam usahanya untuk memberi kesejahteraan dan keamanan kepada dunia. Oleh karena itu: Masyarakat Islam yang sebenarnya ialah masyarakat, di mana hukum Allah berlaku dan dijunjung tinggi menjadi sumber dari segala hukum lainnya.l Bersambung

Kita tidak membatasi masyarakat dengan kata-kata negara, oleh karena yang pertama lebih luas dan telah mengandung yang kedua. Lahirnya masyarakat terlebih dahulu dari lahirnya negara, dan bernegara hanya menjadi alat untuk mengatur masyarakat itu. Sungguhpun negara hanya menjadi alat namun dia adalah alat yang mutlak, yang tak dapat ditinggalkan, karena masyarakat yang tidak berpemerintah pasti tidak akan teratur. Tanah yang ada penduduknya lebih dari seorang telah merupakan masyarakat, dan bila telah ada pemerintahannya maka menjadi sebuah negara. Adapun kewajiban pemerintah selain mengatur dan menjalankan hukum juga harus membimbing perkembangan masyarakat dengan pedoman yang tertentu. Maka harus ada perstuan antara hukum dan pedoman yang dipakai oleh pemerintah dengan hukum (adat) dan pedoman rakyat dengan masyarakat.

Agama Islam tidak hanya mengajarkan hukum dan pedoman yang harus diikuti, tetapi juga menuntun pendidikan jiwa dan ajaran akhlak yang mulia, bahkan yang lebih menguatkan kesemuanya itu ialah ajaran tentang adanya pertanggungjawaban diakhirat tentang perilaku manusia di dunia.

Oleh karena itu, segala urusan sampai kepada urusan politik dan ekonomi serta pembagian rezeki mempunyai pertanggungjawaban kepada Allah. Allah memberi kewajiban kepada manusia maka Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kewajiban itu. Allah memberikan alam seisinya ini bagi manusia seumumnya maka Allah akan meminta kepada manusia, perhitungan dan pertanggungjawaban pemakaian segala macam kekayaan itu.

Dalam soal kemasyarakatan ini ternyata bahwa kebaikan aturan stelsel manapun juga tidak akan menghasilkan buah sebagaimana yang dimaksud bila tidak dipegang oleh orang-orang yang konsekuen, adil dan berbudi serta takut kepada akibat dari tindakannya yang salah. Tetapi bila orang merasa bahwa akibat dari tindakannya yang salah itu masih dapat dielakkan atau disingkiri, niscaya ketakutan itupun akan hilang dan menyebabkan dia berani berbuat salah atau menyimpang dari perbuatan yang semestinya. Dalam hal ini kepercayaan kepada pembalasan Allah diakhirat yang tak dapat dielakkan itu, memaksa manusia bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak salah dan tidak berbuat yang menyimpang dari keadilan.

Hukum Allah mengandung:
1. Hukum Ibadah. Hukum ini menetapkan kewajiban manusia terhadap Allah dan cara-caranya.
2. Hukum Susila. Ialah batas-batas kesusilaan (akhlak) yang baik yang harus dipunyai oleh manusia.
3. Hukum Mu’amalah. Ialah hukum pergaulan hidup, yaitu tuntunan dan batas pergaulan dalam masyarakat agar tidak merugikan dan menganiaya orang lain.
4. Hukum Jinayat dan Hudud. Yaitu hukum pidana menetapkan dan mengatur hukuman bagi orang-orang yang melanggar undang-undang dan ketertiban, melakukan kejahatan atau melalaikan kewajiban yang telah ditentukan.

Sumber dari keempat macam hukum itu ialah agama Allah, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an yaitu firman-firman Allah yang memuat tuntunan dan induk segala hukum itu. Adapun Hadits yaitu sabda Nabi Muhammad dan contoh-contoh teladan yang telah dikerjakan oleh beliau untuk menjadi contoh dan teladan bagi manusia dalam menentukan hukum.

Oleh sebab itu masyarakat Islam ialah masyarakat yang menyerahkan diri kepada Allah, maju dan berkembang menurut hukum-hukum yang telah ditentukan itu.

Ikatan Dalam Masyarakat

Oleh karena masyarakat ialah pergaulan manusia, perhubungan seorang dengan lainnya, maka masyarakat memerlukan adanya ikatan yang mengikat antara anggota masyarakat itu seorang dengan lainnya. Ikatan itu dapat lahir dengan sendirinya dalam masyarakat setelah mereka yang bergaul itu belajar mengenali watak dan kebiasaan orang yang dilawannya bergaul, tetapi ada pula ikatan yang diciptakan terlebih dahulu oleh akal manusia setelah mendapat pertimbangan dari pengalamannya. Ikatan-ikatan itu sangat banyaknya dan bermacam-macam serta berlainan menurut keadaan, tempat serta kecerdasan, yang kesemuanya itu menjadi norma sosial atau peraturan hidup bermasyarakat yang harus ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Norma-norma itu misalnya ialah kesusilaan, adat istiadat, sopan santun, moral umum, ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.

Etika ialah pengetahuan tentang hal yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang boleh dan yang dilarang. Ia menjadi dasar yang utama untuk menciptakan norma-norma tersebut. Oleh karena itu etika (akhlak) juga menjadi salah satu faktor yang penting dalam masyarakat.

Adapun agama Islam ialah tuntunan dan peraturan hidup, baik untuk hidup perseorangan maupun bermasyarakat, keinsyafan kearah ketuhanan dan pengabdian kepada Allah, menerangkan yang baik dan yang tidak, menunjukkan cara hidup yang sebaiknya dan jalan menuju keselamatan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, agama juga mengandung etika dan norma-norma sosial yang akan membimbing masyarakat. Hanya bedanya ialah bahwa norma-norma agama Islam itu datang dari luar diri manusia (heteronomis), yaitu dari Allah, tetapi juga tidak mengabaikan norma-norma lainnya dari dalam diri manusia (autonomis).

Dengan meletakkan norma-norma ajaran Allah itu, Islam akan menyelaraskan perkembangan masyarakat dengan hukum Allah, yaitu tidak hanya akan menghasilkan teraturnya masyarakat, tetapi juga akan membuahkan kebahagiaan dan keadilan yang sempurna, yang tak dapat dicapai oleh norma-norma ciptaan manusia.

Ahli falsafah Kahn mengadakan pemisahan antara keharusan dan kenyataan. Yang dimaksud dengan “keharusan” ialah norma-norma tersebut di atas, dan “kenyataan” ialah apa yangsebenarnya terjadi dalam masyarakat. Maka segala norma tersebut harus dijelmakan menjadi kenyataan. Oleh karena itu, segala yang disebut norma sosial harus bersifat werkelijk, yaitu mungkin dan dapat dilaksanakan. Tetapi norma-norma yang diletakkan oleh agama Islam selain bersifat dapat dan mungkin dilaksanakan, juga mengandung hikmah kebijaksanaan dan keadilan, karena Islam suci dan bersih dari sifat ingin memiliki, sebab yang menyiptakannya ialah Allah yang tidak mempunyai keinginan memiliki dunia seperti manusia.

Norma sosial menurut ajaran Islam ini ditujukan kepada perseorangan (individu) dan masyarakat. Oleh karena menurut ajaran Islam kebaikan masyarakat tidak hanya tergantung kepada baiknya hukum dan aturan yang berlaku, melainkan terlebih lagi bergantung kepada pribadi dan budi individu. Oleh karena itu selain semua hukum-hukum Islam merupakan ketentuan yang harus ditaati, juga merupakan pendidikan pribadi yang akan membuahkan kesadaran individu. Dengan kesadaran ini setiap anggota masyarakat akan dapat taat dengan tidak usah terpaksa baik oleh lingkungan maupun oleh Undang-undang.

Akibat Pelanggaran dan tentang Menilai Norma.

Pelanggaran seseorang atas ketentuan hukum yang berdasarkan norma sosial tersebut di atas harus mengakibatkan hukuman atas orang itu. Untuk menghukum seseorang harus diperlukan adanya kekuasaan yang diakui dalam masyarakat. Oleh karena itu adanya kekuasaan atau pemerintah menjadi faktor yang terpenting. Maka wujud hukuman ini berlainan menurut macamnya norma sosial, umpamanya:

a. Menurut ajaran etika, hukuman ialah penyesalan dalam hati. Siapa yang melanggar hukum atau berbuat kelakuan yang bertentangan dengan salah satu norma tersebut, ia akan menyesal dengan tidak putusnya.

b. Menurut hukum kenegaraan, hukumannya ialah dipenjara, didenda dan sebagainya.

c. Menurut adat istiadat ialah diasingkan dari pergaulan. Siapa yang berbuat melanggar adat niscaya diasingkan dari pergaulan oleh masyarakat.

d. Menurut ajaran agama, siapa yang melanggar hukum dan menerima siksa diakhirat.

Disamping itu agama Islam juga mengatur hukuman-hukuman di dunia yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hukuman di dunia dilakukan untuk memelihara ketertiban dan keamanan serta untuk melindungi si lemah dari penganiayaan; bukan hanya itu, menurut hukum Islam, hukuman juga dikenakan kepada orang yang melalaikan kewajibannya terhadap masyarakat seperti orang kaya yang sengaja meninggalkan zakat. Ajaran tentang adanya siksa dan pahal diakhirat merupakan keimanan yang menjamin tiap-tiap anggota masyarakat untuk menetapi norma-norma sosial dan norma pribadi yang telah diletakkan oleh agama.


Kalau kita hendak mengetahui sampa ke mana tinggi nilai sejati dari segala norma yang bermacam-macam corak dan dasarnya itu, maka kita harus meninjau sifat dan wujudnya norma-norma itu serta meninjau pula sanksinya, yaitu apa hukumannya bila dilanggar. Kemudian memperbandingkan faedahnya bila norma-norma itu dipenuhi, dengan akibatnya kepada masyarakat dan individu bila norma-norma itu diabaikan atau dilanggar.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua norma-norma itu berupa perintah dan larangan. Kalau kita tinjau segla larangan yang terdapat dalam Islam maka ternyatalah kepada kita bahwa jika larangan itu dikerjakan oleh manusia tentu akan mendatangkan kerusakan dan kerugian yang mengenai individu dan masyarakat.

Demikian pula segala perintah agama bila dilaksanakan pasti akan membawa faedah dan kesejahteraan. Jadi bukanlah segala hukum Islam itu hanya berdasarkan formalitas atau kepantasan belaka seperti pada hukum adat istiadat, atau berdasarkan “agar tidak merugikan orang lain” dan “keamanan dan nketertiban” saja seperti pada hukum kenegaraan, tetapi selain berdasar itu semua juga berdasarkan adanya mudlarat dan manfaat, mensucikan batin dan jiwa, keridhoan Allah, memberi kelapangan dan kemudahan. Maka dengan meninjau dan memperbandingkan dasar, wujud dan sanksi sepetti tersebut di atas semua itu, dapatlah ditetapkan bahwa diantara segala macam norma-norma sosial, maka agamalah yang tertinggi nilainya, dan hukum agama (hukum Allah) ialah satu-satunya hukum yang harus dijadikan induk bagi segala hukum dan undang-undang di dunia jika manusia benar-benar menghendaki keselamatan dan kesejahteraan.

Dasar dan Tujuan Hukum Islam

Marilah kita meninjau dasar dan tujuan hukum Allah menurut yang tersebut dalam Al-Qur’anul Karim. Firman Allah:

1. “Aku tidak turunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya kamu mendapat kesukaran”. (Qs. Thoha: 2)

2. “Allah memerintahkan kamu berbuat kebaikan dan melarang kamu berbuat kejahatan, dan
menghalalkan yang baik serta mengharamkan yang buruk”. Qs. Al-A’rof: 157)

3. “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tiada menghendaki kesukaran”. (Qs. Al-Baqarah:
185)

4. “Allah tidak menghendaki agama memberi kesempitan kepada kamu”. (Qs. Al-Haj: 78)

5. “Kitab ini (Al-Qur’an) tidak ragu-ragu lagi niscaya menjadi petunjuk bagi orang yang takut”. (Qs. Al-Baqarah: 2)

Dimaksud dengan “petunjuk” ialah petunjuk kepada kebenaran dan kebahagiaan, dan orang yang takut ialah mereka yang menetapi perintah dan menajuhi larangan yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Yang tersebut di atas itu hanya sebagian kecil saja dari amat banyaknya ayat-ayat firman Allah yang menerangkan dasar dan tujuan hukum Islam. Dasar dan tujuan hukum Islam dapat disimpulkan:

1. Memudahkan serta menghilangkan kesukaran.

2. Menjauhkan yang buruk dan mengambil yang baik.

3. Memberikan petunjuk kepada hidup perseorangandan kepada masyarakat, serta menuntunnya kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Memberi kemudahan dan menghilangkan kesukaran tidak berarti membiarkan manusia berbuat semaunya, asal mudah dan ringan, tetapi berarti meletakkan hukum yang mudah dijalankan, mudah diterima oleh akal yang sehat, menjadi cara yang semudah-mudahnya untuk mencapai kebahagiaan diri dan kesejahteraan masyarkat. Tidak ada hukum yang tidak membatasi, maka menjaga berlakunya hukum serta mentaati hukum adalah pekerjaan yang tidak ringan, bahkan terasa berat karena membatasu kebebasan hawa nafsu; tetapi namun demikian harus dijalankan dan ditaati guna mencapai ketertiban dan kesejahteraan.

Maka dalam hal ini Islam membawa hukum-hukum yang mudah dijalankan dan mudah pula ditaati jika dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, serta akan dapat mencapai hasil yang jauh lebih baik dalam waktu yang lebih singkat. Makin jauh dan dalam kita menyelidiki hukum-hukum Islam itu, bertambah nyata bahwa segala undang-undang dan peraturan yang lahir dari induknya (Al-Qur’an dan Hadits) tidak merupakan perlindungan bagi kaum yang mempunyai milik dari gangguan yang mungkin timbul dari mereka yang tidak bermilik, tetapi perlindungan dan tuntunan bagi kedua pihak. Demikian juga tujuan norma-norma sosial dalam Islam tidak hanya ketertiban sosial melainkan lebih jauh daripada itu, ialah masyarakat yang baik, amandan bahagia, dilindungi oleh ampunan Allah yang Maha Esa.

Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur

Baldatun Thayyibah artinya negeri yang baik. Thayyibah mengandung arti: berfaedah, bagus dan bersih serta tidak ada mengandung madlarat. Baldatun Thayyibah atau negeri yang baik ialah negeri yang memberi manfaat kepada segenap rakyatnya, bagus dan rapi aturan serta susunannya, bersih dari undang-undang dan perlakuan yang tidak adil, diperintah serta diatur dengan ikhlas bersih dari kepentingan perseorangan atau golongan sehingga tidak memberi madlarat kepada rakyat umumnya.

Rabbun Ghafur ialah Allah yang maha pengampun, yang melindungi hamba-Nya yang beriman dan berbuat kebaikan, berbakti kepada-Nya dan mau menerima serta menjunjung tinggi hukum-hukum-Nya. Negeri yang baik pasti mendapat perlundungan Allah yang maha pengampun sebagai negeri itu disusun dan ditur dengan berpedoman pada hukum-hukum Allah. Negeri ataupun negara ialah masyarakat yang dibuat dan diatur oleh manusia, diperbaiki dan dimajukan oleh manusia juga, dan apabila masyarakat itu rusak binasa maka manusia juga yang merusaknya. Tidak kuasa manusia menahan kerusakan yang dibuat oleh manusia lainnya. Bebebrapa golongan manusia berkata hendak memperbaiki masyarakat tetapi dalam praktiknya merusak dan menambah keruhnya suasana, baik disengaja atau tidak. Beberapa golongan lagi berkata hendak mengadakan perbaikan tetapi sebenarnya mencari keuntungan dan kekuasaan. Beberapa golongan berkata hendak melindungi, tetapi sebenarnya menganiaya dan memeras. Beberapa golongan berkata akan membela dan menjelmakan keamanan, tetapi sebenarnya untuk mengabadikan kekuasaan dan keunggulannya,serta menambah atau setidaknya menjaga agar daerah jajahannay tidak berkurang. Salah satu pihak mengatakan keadaan masyarakat rusak dan buruk, pihak lain mengatakan itulah yang baik dan maju.

Apakah mereka sebenarnya memperbaiki atau merusak, mencari kesejahteraan bersama atau mencari keuntungannya sendiri, melindungi atau menganiaya, mengamankan masyarakat atau mengekalkan kekuasaan dan daerahnya sendiri, membawa masyarakat kepada kebaikan atau keburukan, maju atau mundur? Untuk menjawab soal-soal tersebut di atas, manusia memerlukan norma-norma agama yang berisi hukum-hukum Allah, karena bila memakai pendapat manusia tentulah jawab yang diperoleh tidak akan tepat dan benar. Kekacauan dan keribuatan bukanlah disebabkan perselisihan pendapat manusia? Bila manusia telah mau mengembalikan pendapatnya kepada hukum-hukum Allah, bila masyarakat telah diatur dan disusun dengan berpedoman hukum-hukum Allah, niscaya aman dan sejahteralah dunia; itulah yang dikehendaki oleh Baldatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur.

Ketundukan manusia kepada hukum Allah menjadi syarat mutlak terciptanya negara yang baik di bawah perlindungan Allah yang maha pengampun. Dalam masyarakat yang agama menjadi dasar dan pedoman, tujuannya tidak hanya diutamakan kepada kesejahteraan lahir yaitu kemakmuran bersama, tetapi juga kesejahteraan batin yang amat dibutuhkan bagi manusia yang hidup. Bahkan dengan tidak adanya kesejahteraan batin ini, segala ikhtiar untuk mencapai kemakmuran akan sia-sia belaka, oleh karena hanya manusia yang sejahtera dalam kebatinannya dapat merasa makmur dan cukup bila keperluan hidupnya telah dipunyai, dan merasa bersyukur serta rela menolong orang lain bila yang dimiliki ternyata melebihi dari keperluan hidupnya. Tetapi orang yang batinnya tidak aman, tidak akan merasa cukup meskipun yang telah dimilikinya itu berlebih-lebihan, bahkan dia masih hendak menambah kekayaannya lagi dengan tidak memikirkan nasib kawan-kawannya yang kekurangan, tidak mau atau kepada baik atau buruk, halal dan haram, asal dapat menambah hartanya.

Hukum Allah yang dapat menentukan apakah manusia benar-benar berbuat baik untuk masyarakat atau hanya untuk dirinya. Hukum Allah mengajarkan bahwa menolong dan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang kekurangan itu satu kewajiban, bukan kedermawanan, tetapi satu keharusan yang dilindungi oleh undang-undang. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala ketamakan dan aniaya akan dibalas dengan hukuman, meskipun dapat terlepas dari jaring undang-undang ciptaan manusia. Hukum Allah mengajarkan bahwa adanya rumah-rumah sakit, rumah-rumah pemeliharaan dan pertolongan, pabrik-pabrik keperluan hidup dan hal-hal yang menjadi kepentingan umum, hukumnya wajib kepada segenap anggota masyarakat untuk mengadakannya, dan tetap akan tinggal wajib sebelum diadakan dengan mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat baik ditengah kota maupun dipelosok dusun. Pemegang kuasa dalam masyarakat berkewajiban melaksanakan ini. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala manusia sama harga dan nilainya,tidak seorang lebih mulia darilainnya, kemuliaan terletak kepada siapa saja yang menjalankan perintah Allah dengan patuh dan menyingkiri larangan-Nya dengan hati-hati. Hukum Allah mengajarkan bahwa judi dan arak harus dilarang karena berbahaya kepada manusia dan msyarakat, meski bagaimanapun banyaknya hasil yang diperoleh dari judi dan arak itu, karena tujuan hukum Allah hanya keselamatan masyarakat bukan banyaknya uang masuk. Hukum Allah mengajarkan agar anggota masyarakat sayang menyayangi satu sama lain, persengketaan tak boleh lebih dari tiga hari. Kekuasaan harus mendamaikan dua orang yang bermusuhan atau bersengketa setelah habis waktu tiga hari itu. Hukum Allah mengajarkan bahwa poligami diizinkan dan perzinahan serta pelacuran harus diberantasdan dihukum orang yang menjalankan kekejian itu. Hukum Allah mengajarkan bahwa setiap orang akan dituntut semua perbuatannya yang salah dan dituntut pertanggunganjawabnya mengenai pimpinannya kepada keluarganya, pengikut dan rakyatnya. Hukum Allah mengajarkan bahwa segala macam kesenangan hidup itu mubah, artinya boleh dilakukan asal tidak melebihi batas kesusilaan yang telah ditentukan. Hukum Allah memberi garis dengan jelas yang meisahkan antara kemajuan dan kesesatan serta keruntuhan, pemisahan antara hawa nafsu dan kemaslahatan. Dan akhirnya hukum Allah mengajarkan bahwa kebangsaan tidak boleh dipergunakan untuk memecah belahkan manusia karena akan menimbulkan permusuhan atau merenggangkan persaudaraan.

Dari Siapa Manusia Mengharapkan Keadilan?

Manusia mencari keadilan tetapi tak mungkin diperolehnya keadilan itu selain dalam hukum Allah, sebab Allah tidak butuh kepada kekayaan alam ini. Bahkan Dia menciptakan untuk keperluan dan kesenangan hamba-Nya.Manusia mencarikeadilan, tetapi bila keadilan itu nanti merugikan dia atau mengurangi keuntungannya, ia tolak keadilan itu! Dan mengatakan tidak adil! Pandangan manusia tentang keadilan berlain-lain, karena bukanlah kebenaran yang menjadi ukuran, melainkan kepentingan dan ketamakan dirinya. Padahal mereka sama-sama berseru mencari keadilan dan memegang teguh keadilan seakan-akan keadilan itu hanya sesuatu hal yang relatif, tergantung kepada perasaan dan pandangan masing-masing; berlainan tempat tegak berlainan yang kelihatan. Makin tua umur dunia, semua menjadi relatif. Kebenaran, kebaikan, keadilan, kesopanan; kesemuanya itu relatif. Akhirnya segala norma-norma sosial akan menjadi kabur dan hilang sama sekali, dan manusia akan hidup tanpa norma.*****

Source: http://suara-muhammadiyah.com/?m=200808&paged=2., melalui mesin pencari google.

Merenungkan Daulat Manusia

Rendra

Dalam diri setiap manusia terkandung Kehendak Manusia dan Kehendak Alam. Beberapa bagian tubuh kita bisa kita kuasai gerak-geriknya menurut kehendak kita. Misalnya, kaki, tangan, lidah, selaput suara, mulut, bola mata, dan sebagainya. Tetapi beberapa bagian yang lain tidak bisa kita kuasai gerak-geriknya. Misalnya, jantung, usus, hati, dan sebagainya. Bagian-bagian yang tidak bisa dikuasai oleh kehendak manusia bisa dibudayakan; bagain yang tidak bisa dikuasai oleh manusia berjalan menurut alam. Jadi, dalam diri setiap manusia terkandung unsur alam dan unsur kebudayaan.

Di sepanjang sejarah, di seluruh dunia, persoalan yang slalu muncul adalah bagaimana orang menyelaraskan Kehendak Manusia dan Kehendak Alam dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, manusia selalu terlibat di dalam masalah keselarasan antara Daulat Alam dan Daulat Manusia.

Pada permulaan tafar peradabannya, manusia merasa sangat jerih kepada Daulat Alam. Ia harus lahir, harus tua, dan akhirnya harus mati. Tidak bisa diupayakan untuk dicegah. Guntur bertalu-talu, ombak laut bergelora setinggi bukit, gunung meletus, topan badai mengganas. Semua tidak bisa dicegah. Orang merasa tidak berdaya terhadap Daulat Alam. Semakin orang tunduk dan menghormati Daulat Alam, semakin terjamin keamanan hidupnya. Pada akhirnya para pemuja Daulat Alam ini menciptakan tatanan masyaraka sesuai dengan keadaan alam. Di dalam alam tidak ada hak. Yng ada hanyalah kepastian-kepastian. Bahwa beringin itu beringin. Perdu itu perdu. Sayuran itu sayuran. Dan benalu itu benalu. Sayurang jangan bermimpi menjadi beringin. Demikian pula gajah itu gajah. Macan itu macan. Kijang itu kijang. Tikus itu tikus. Jangan tikus bermimpi bisa menjadi macan dan harus tetap berhati-hati dan tahu diri tehadap kucing. Akhirnya, alam pun sudah menetapkan: ada orang perkasa, ada orang lemah. Ada kakak, ada adik. Ada jagoan, ada orang biasa. Ada penguasa, ada rakyat yang dikuasai. Ada lelaki, ada perempuan. Ada ndoro, ada abdi. Dan semua orang masing-masing harus tahu kedudukannya. Tidak ada hak, yang ada hanya unggah-ungguh, tata cara menurut hirarki, yang harus dipatuhi agar tidak merusak harmoni hidup yang kerto raharjo, selamat sejahtera. Yang adik harus tahu kedudukannya terhadap kakak. Begitu juga wong cilik harus tahu kedudukannya terhadap ndoro-ndoro, sebab untuk selama-lamanya wong cilik itu tetap wong cilik, dan ndoro itu ndoro. Di dalam tatanan masyarakat seperti itu, Daulat Alam menjelma menjadi Daulat Tuanku. Kepala negara dalam masyarakat seperti itu mempunyai kedaulatan yang sama dengan kedaulatan penguasa alam semesta raya. Ya, karena ia memang dianggap sebagai wakil Tuhan di atas dunia. Sabdanya sakti. Harus dituruti. Asprasinya menjadi hukum dan aturan negeri. Segala sesuatu yang berada di wilayah kekuasaannya adalah miliknya. L’etat, c’est moi. Negara itu saya! Begitu kata Raja Louis XIV. Ratu Kang Murbeng Jagat, Raja yang Memiliki Dunia! Begitu Amangkurat I melukiskan dirinya.

Di dalam masyarakat seperti itu, patuh kepada unggah-ungguh adalah suci, bagaikan kewajiban dalam agama. Kenaikan derajat orang dalam lapisan sosial terjadi bukan karena hak prestasi tetapi karena “wahyu”, yaitu rahmat Tuhan yang sangat alami sifatnya. Kepatuhan adalah kunci keutamaan. Sebagaimana orang pasrah kepada Tuhan, begitulah orang pasrah kepada kepala negara dengan segenap daulat sabdanya. Daulat Manusia bersujud kepada Daulat Alam yang memanifestasikan dirinya sebagai Daulat Tuanku. Apabila rakyat atau abdi Raja hendak berkata sesuatu, ia harus membuka ucapannya dengan kalimat “Ampun beribu ampun” dan selanjutnya ia harus menyembah “Duli Kaki Tuanku”, Debu Kaki Tuanku.

Di dalam dunia pertanian sekalipun orang sedikit sekali melakukan intervensi terhadap jalannya alam. Orang tidak membuat bendungan, tetapi sekadar irigasi dan waduk, atau saluran (kanal). Dan di halaman rumahnya, orang tidak membuat taman melainkan membuat pekarangan. Taman itu punya rancangan, sedangkan pekarangan tidak punya rancangan, segalanya tumbuh begitu saja. Paling jauh di dalam pekarangan orang hanya berlaku “merapikan”, sedangkan aturan dasarnya paling sedikit sekali.

Di dalam mengelola lingkungan alam, orang-orang dari budaya Daulat Alam secara alamiah sangat bersifat ekosentris. Dan di dalam hidup sehari-harinya menyelaraskan diri dengan irama matahari. Mereka bekerja, melakukan kegiatan dan makan-minum selagi matahari muncul di atas jagat raya. Dan mereka pun tidur, bagaikan sayur mayur waktu matahari sudah tenggelam.

Tetapi Daulat Manusia itu bukan omong kosong. Daulat Manusia adalah unsur di dalam diri manusia yang tidak kalah kuatnya dengan Daulat Alam. Daulat Manusia adalah bagian dari unsur kewajaran dan keutuhan di dalam pribadi manusia. Dan karena manusia itu bukan batu, melainkan makhluk yang mempunyai daya hidup, maka lambat atau cepat ia akan selalu berusaha mencapai kewajaran dan keutuhan dirinya. Apalagi ia mempunyai nalar, budi, dan bahasa. Hal-hal tersebut menyebabkan ia berbeda dari hewan yang tunduk sama sekali kepada Daulat Alam, dan ia menganggap alam dan segenap rahasianya sebagai suatu tantangan untuk ditundukkan. Nalar dan budinya selalu mendorongnya mempertanyakan kembali rumusan-rumusan pemikiran orang-orang yang terdahulu, dan juga batas-batas dari pengetahuannya.

Akhirnya ia pun mempertanyakan kedudukan Daulat Manusianya dalam berhadapan dengan kekuasaan Daulat Tuanku. Haknya atas tanah yang ia garap, dan benda-benda yang ia peroleh berkat usaha dan jerih payahnya. Haknya dalam berpendapat dan dalam keterlibatannya dalam tata masyarakat. Begitu dan seterusnya sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Thomas Paine dalam bukunya Rights of Man.

Begitulah, melewati pergolakan-pergolakan politik di dunia barat, terutama melewati Revolusi Perancis, kesadaran akan Daulat Manusia melahirkan kesadaran akan Daulat Rakyat sebagai lawan dari Daulat Tuanku.

Ketika Rights of Man ditulis, bangsa kita masih hidup di bawah Daulat Alam dan Daulat Tuanku. Kesadaran akan Daulat Manusia hanya hadir di alam meditasi. Begitu keluar dari alam meditasi dan terjun ke masyarakat kembali, orang tertawan dalam mesin Daulat Alam yang tanpa perikemanusiaan.

Kiprah Dualat Manusia dan Daulat Rakyat yang melahirkan tatanana masyarakat baru, yang lebih militan mobilitas horisontal dan vertikalnya, pun lebih memberi kesempatan yang luas kepada bangsa untuk berorganisasi dan berkoordinasi dan juga melahirkan jaminan kepastian hidup bersama yang lebih bisa diperhitungkan dan diandalkan karena adanya kepastian hukum yang mandiri dari nafsu kekuasaan pemerintah. Maka pada akhirnya kiprah itu mampu menopang perkembangan filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang melahirkan teknologi dan perkembangan industri.

Kepastian hukum, sebagai hasil dari kiprah Daulat Rakyat, merangsang inisiatif dan daya usaha dalam masyarakat, sehingga masyarakat menjadi kaya akan sumber daya manusia. Kini, dalam menghadapi berbagai masalah di dunia, temasuk masalah dengan lingkungan alam, orang bersikap antroposentris. Kepentingan Daulat manusia menjadi pusat orientasi.

Daulat Manusia mendesakkan diri dengan dahsyat. Hampir tidak mengenal batas. Alam ditundukkan dan diolah sejadi-jadinya. Molekul dibelah menjadi atom, menjadi nuklir, sehingga melahirkan tenaga yang sukar dikendalikan, dan limbah yang mencemarkan dan merusak alam.

Daulat Manusia melahirkan paham liberalisme yang menuntut hak asasi manusia yang luas sekali dalam segala bidang. Globalisasi gerakan hippies adalah puncak dari eksperimen kebebasan hak-hak manusia. Free love. Free sex. Free expression.

Begitu tak membatasi hakl-hak seksnya, maka segenap saripati nafsu birahi yang terpendam diungkapkan: hasrat homoseksualisme, lesbianisme, biseksualisme. Seperti orang membelah-belah molekul menjadi atom dan nuklir, orang membelah-belah laku asmara sehingga menjadi seks murni yang lepas dari keutuhan kemanusiaan, lepas dari proses pergaulan yang mendalam antara pribadi dan pribadi. Dalam kepsatan peputaran seks semacam itu, aurat yang satu sama saja dengan aurat yang lain. Orgasme bukan lagi klimas dari pergaulan antarpribadi, tetapi sekadar batas dari kemampuan seks. Dimensi seks menjadi miskin dan karenanya lama kelamaan menjadi hambar dan tidak menarik lagi. Banyak anak muda dalam tingkat seperti ini menjadi impoten.

Free love, percintaan tanpa ikatan, menyebabkan kaburnya nukleus keluarga. Anak-anak yang lahir dalam keadaan seperti itu menjadi yatim piatu sepanjang hidupnya, seperti daun yang melayang-layang dalam angin, kehilangan sentuhan keunikan dari keterlibatan pergaulan yang berdasarkan ikatan darah, yang berarti ikatan alami. Padahal, ia terjerumus dalam situasi hidup seperti itu bukan karena pilihannya, tetapi karena pilihan ibu dan bapanya. Ia terjerembab dalam situasi murung yang ditimpakan kepadanya.

Kebebasan berekspresi didorong sejauh mungkin. Sampai-sampai pornografi harus diizinkan. Mendirikan Gereja Setan boleh. Dan mendirikan organisasi fasisme juga boleh. Orang berekspresi atau berpikir tidak lagi dengan pertimbangan kepentingan kesejahteraan. Iman tidak lagi penting.

Tanpa iman kepada Tuhan, tanpa pertimbangan akan pengadilan di akhirat, menyebabkan orang bertingkah polah tanpa rambu-rambu. Akibatnya, tabrakan-tabrakan dalam lalu lintas kehidupan bersama terjadi secara konyol. Tabrakan-tabrakan yang hanya berarti kecelakaan dalam kehidupan. Sebagai akibat dari lalu lintas kacau karena tanpa rambu-rambu.

Industri berjalan dengan kedahsyatan mesin yang tanpa perasaan. Menghasilkan produk benda-benda konsumen yang melimpah dan menguasai kehidupan manusia. Konsumen memberi produk bukan karena nilai keguanaannya, tetapi karena ia menginginkan berndera-bendera derajat, atau kedudukan di dalam masyarakat. Pakaian, makana, perabotan rumah tangga, kendaraan adalah bendera-bendera derajat yang sudah lepas dari keguanaan aslinya. Semuanya itu adalah produk dari mesin industri yang tidak boleh berhenti sebab time is money. Dan produk-produk itu dikemas dan ditawarkan kepada daftar impian yang ada di kepala para calon konsumen.

Pesawat-pesawat jet sudah dibikin dan terus menerus selalu dibikin. Lalu diciptakanlah yang tadinya tidak ada. Diciptakanlah tujuan-tujuan untuk penerbangan. Turisme dikembangakan. Masa libur para pekerjat harus bisa direbut oleh maskapai penerbangan. Bali harus diringkas, dikemas dalam kertas kado, sehingga bisa disuguhkan kepada para pelancong. Upacara di pura, kesenian-kesenian ritual, dikemas secara necis dan praktis sehingga menjadi objek pariwisata. Lalu terjadilah erosi kebudayaan ataupun polusi kebudayaan. Kehidupan spiritual mengalami pendangkalan.

Pada akhirnya, Daulat Industri muncul sebagai kedaulatan baru yang menantang Daulat Manusia.

Ternyata antroposentirmse maupun ekosentrisme bisa saling membahayakan keutuhan kemanusiaan. Untuk menciptakan keseimbangan antara Daulat Manusia dan Daulat Alam, kita harus berorientasi kepada Kehendak Sang Pencipta Manusia dan Sang Pencipta Alam. Karena hanya Sang maha Pencipta sendirilah yang paling tahu syari’at hidup yang tepat yang bisa mendamaikan keseimbangan kepentingan antara Daulat Manusia dan Daulat Alam dalam diri umat manusia.

(Merupakan Kata Pengantar WS Rendra untuk buku “Daulat Manusia” yang adalah terjemahan dari The Rights of Man karya Thomas Paine. Diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2000)

Khitbah Tak Melalui Wali

Assalamu ‘alaikum…

Tadi malam ketika dalam perjalanan ke Jogja bareng dik Ii, sekitar setengah sembilan saya dapat sms dari mas Danang:

Asslmlykm. Siapa nich yg mau khitbah tanpa melalui wali?

“Hah, kok beliau tahu? Siapa ini yang menyebarkan? Perasaan hanya orang-orang tertentu yang saya kirimi pertanyaan mengenai hal itu.” Begitu batin saya. Saya memang pernah mengirimkan pertanyaan tentang hal itu ke ustadz Shiddiq dan mas Toif. Karena belum tahu apa yang terjadi, maka saya kirim jawaban singkat:

‘iykm alslam,,

hee..

sy belum akan mas.:-)

Ternyata beliau balas lagi:

Wah. Cuman ngetes ust siddiq nih. Sy ambil disitusnya beliau, mrs kenal no hp penanya, sy kira serius+brani mo khitbah lgsg je.., gak taunya cm mo ngetes he5

Nah lho, ustadz Shiddiq sudah menjawab pertanyaan saya? Tidak seperti biasanya, saya tidak ingat beliau pernah membalas pertanyaan itu via sms. Padahal kalaupun dijawab di situs, beliau juga menjawab secara singkat ke nomor saya. Makanya saya baru tahu.

o…

sy baru tau ini. sy pikir Ustadz Shiddiq tdk akan jawab. itu pertanyaan sdh cukup lama. pas lg ‘nyala’. skr sdh reda. ah, ustadz Shiddiq jwbny telat. hee..

mas Danang:

Msk anak muda br nyala sdh padam?? Iya sdh ada di situsnya beliau. Jawabnya boleh. Hayo mau apa lg? Kyknya kalau sdh tahu tggl pmbuktianyadeh. Atau tanya2 lg?

“Ya, iyalah, perlu tanya lagi ke orang bersangkutan, mau tidak dikhitbah. Tentang kapannya yang belum tahu.” Begitu kira-kira respon saya.

Masih saja beliau balas. hehe, kali ini anak sulung beliau dibawa-bawa. Ah, jadi malu…

Ya emang gitu.

Hammam skrg sdh msk play group. Kdg jg takut gitu, trus cm nanya2. Apa lg nanya anak org ya?? Kayaknya  tkut2nya lbh byk yaa? Iqbal jg tkt2 je..py

hehe, karena kehabisan jurus, saya cuma balas:

hmm,,

ndak bs komentar lg deh kl bandingannya Hammam.:-)

Nah, di bawah ini sms balasan terakhir dari mas Danang. Selanjutnya, di bawahnya lagi silakan nikmati penjelasan ustadz Shiddiq di situs beliau http://www.khilafah1924.org tentang khitbah tanpa melalui wali dari pihak perempuan.

Ya, km tunggu sj kabar berikutnya. Semoga Allah mudahkan semua harapan dan cita2 antum. Smoga smua diberi yg terbaik dgn jalan termudah. Amin.

Aamiin.

MENGKHITBAH LANGSUNG TANPA MELALUI WALI

Tanya :

Kalau seorang laki-laki meminta seorang wanita untuk menikah dengannya tanpa melalui wali si wanita itu, apakah sudah termasuk khitbah? Apa hukumnya? (081328473234)

Jawab :

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui lebih dahulu pengertian khitbah (melamar / meminang). Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab karya Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah (Ta’rif Khitbah), diterangkan pengertian syar’i (al-ma’na asy- yar’i) dari khitbah sebagai berikut.

التماس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها

“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).

Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa seorang laki-laki boleh hukumnya mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya. Boleh juga laki-laki tersebut mengkhitbah perempuan tersebut melalui wali perempuan itu. Dua-duanya dibolehkan secara syar’i dan dua-duanya termasuk dalam pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat dalil-dalil As-Sunnah yang menunjukkan kebolehannya.

Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya, adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :

“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (Arab : lamma maata Abu Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama Haathiba ‘bna Abi Balta’ah yakhthubuniy lahu shallallahu ‘alaihi wa sallama). (HR Muslim).

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah SAW langsung mengkhitbah Ummu Salamah RA, bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah RA.

Sedang dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits riwayat Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata :

“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (Arab : anna an-nabiyya shallallahu ‘alaihi wa sallama khathaba ‘A’isyata radhiyallahu ‘anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu ‘anhu) (HR Bukhari).

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui walinya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. (Lihat Syaikh Nada Abu Ahmad, Al-Khitbah Ahkam wa Adab, hal. 3).

Perlu kami tambahkan, dalam mengkhitbah dibolehkan seorang laki-laki mewakilkan kepada orang lain untuk mengkhitbah, sebagaimana dibolehkan pula laki-laki itu sendiri yang mengkhitbah (tanpa mewakilkan). (Lihat Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, Bogor : Al-Azhar Pess, 2007, hal. 177).

Kebolehan ini didasarkan pada keumuman dalil-dalil wakalah (akad perwakilan), di samping diperkuat pula dengan dalil-dalil As-Sunnah yang telah kami kemukakan di atas. Pada saat mengkhitbah Ummu Salamah RA, Rasulullah SAW mengirim utusan (wakil) beliau yaitu Hathib bin Abi Baltha’ah RA. Adapun pada saat mengkhitbah ‘Aisyah RA, Rasulullah SAW tidak mewakilkan melainkan langsung mengkhitbah sendiri kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq RA sebagai wali ‘Aisyah RA.

Dengan demikian, jelaslah bahwa syara’ membolehkan khitbah disampaikan langsung kepada pihak perempuan atau disampaikan kepada wali perempuan itu. Wallahu a’lam [ ]

Yogyakarta, 13 Juli 2008

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Ibrâhim Menjadi Nabi Jika Tak Mati

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ شَبِيبٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا وَلَوْ عَاشَ لَعَتَقَتْ أَخْوَالُهُ الْقِبْطُ وَمَا اسْتُرِقَّ قِبْطِيّ
(رواه ابن ماجه في سننه; الكتاب ما جاء في الجنازة; الباب ما داء في الصلاة في ابن رسول الله وذكر وفاته)

‘Abd al-Quddûs bin Muhammad memberi tahu kami, Dâwud bin Syabîb al-Bahîlî memberi tahu kami, Ibrâhîm bin ‘Utsmân memberi tahu kami, al-Hakam bin ‘Utaybah memberi tahu kami, dari Miqsam, dari Ibnu ‘Abbâs, ia berkata: ketika Ibrâhîm putra Rasulûllâh shallâllahu ‘alayhi wa sallam meninggal, beliau mensalatkannya dan bersabda: “Sesungguhnya ada yang menyusuinya di surga. Seandainya ia hidup, pastilah ia menjadi seorang Nabi yang shiddîq. Seadainya ia hidup, ia tentu akan memerdekakan paman-pamannya di Qibthî dan orang-orang Qibthî tidak akan diperbudak lagi.”
(HR. Ibnu Mâjah)

Derajat Hadis

Hadis ini lemah. Di dalam sanadnya terdapat Ibrâhîm bin ‘Utsmân yang banyak di-jarh oleh para ulama. Al-Bukhârî mendiamkannya. Abû Dâwûd men-jarh-nya sebagai dha’îf al-hadîts, Yahyâ bin Ma’în menyatakan ia bukan seorang yang tsiqah, bahkan al-Tirmîdzî menganggapnya munkar al-hadîts. Ahmad bin Hanbal melemahkannya juga.

Meskipun demikian, banyak hadis dari jalur lain yang senada dengan ini dengan rawi-rawi tidak bermasalah. Sebagian akan disebutkan kemudian.

Kandungan Hadis

Sebagaimana diketahui, tak seorang pun anak laki-laki Nabi yang hidup sampai dewasa. Di antara sekian banyak putra Nabi, yang sempat menyaksikan beliau meninggal hanya Fâthimah, yang kemudian diperistri oleh ‘Alî radhiyallâhhhu ‘anhumâ.

Hadis di atas bercerita tentang Ibrâhîm, salah seorang putra Nabi yang juga meninggal saat masih bayi, tepatnya ketika berumur delapan belas bulan sebagaimana keterangan Umm al-Mu`minîn ‘Â`isyah radhiyallâhu ‘anhâ. Dalam hadis ini dan juga hadis lain yang sahih, dinyatakan bahwa Nabi mensalati Ibrâhîm. Hal ini berbeda dengan keterangan Umm al-Mu`minîn ‘Â`isyah yang menyatakan Nabi tidak mensalatinya. Ibrâhîm sendiri adalah putra Nabi dari budak perempuan beliau yang bernama Mariyah al-Qibthiyah.

Selain sanadnya lemah, hadis ini menjadi kontroversial karena matannya seolah-olah tidak mendukung status Nabi Muhammad shallâllâhu ‘alayhi wa sallam sebagai penutup para Nabi. Sebab, berkenaan dengan putranya tersebut, Nabi bersabda: “Seandainya ia hidup, pastilah ia menjadi seorang Nabi yang shiddîq.” Kontroversi inilah yang akan dibahas lebih jauh dalam kesempatan ini.

Komentar al-Nawawî dan Ibnu ‘Abd al-Barr

Al-Nawâwî dan Ibnu ‘Abd al-Barr, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî, memberikan komentar negatif terhdap hadis ini. Al-Nawawî dalam Tahdzîb al-Asmâ` menyatakan: “Adapun apa yang diriwayatkan oleh sebagian kalangan mutaqaddimîn: seandainya Ibrâhîm hidup, ia akan menjadi Nabi; maka hal ini batil.” Lebih jauh, al-Nawawî menyatakan bahwa itu merupakan perkataan yang terlalu berani mengenai perkara yang gaib, serta kelancangan dan kecerobohan dalam melakukan kesalahan besar. Ulama sebelumnya, Ibnu ‘Abd al-Barr, mengungkapkan pernyataan yang hampir sama.

Komentar Ibnu Hajar

Ibnu Hajar sendiri menyatakan tidak tahu apa yang membuat al-Nawawî mengeluarkan pernyataan semacam itu. Yang jelas, ada rawi lain yang lebih baik selain Ibrâhîm yang meriwayatkan hadis yang seperti ini. Hadis yang memiliki kesamaan redaksi misalnya dikeluarkan oleh Imâm Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ السُّدِّيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ لَوْ عَاشَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
‘Abd al-Rahmân bin Mahdî memberi tahu kami, Sufyân memberi tahu kami, dari al-Siddî, ia berkata: saya mendengar Anas bin Mâlik berkata: seandainya Ibrâhîm putra Nabi shallâllâhu ‘alayhi wa sallam hidup, ia akan menjadi Nabi yang shiddîq.

Perlu dijelaskan bahwa satu-satunya hadis yang menyandarkan perkataan tentang Ibrâhîm itu kepada Nabi adalah riwayat Ibnu Mâjah. Padahal riwayat ini lemah. Sedangkan hadis yang lain terhenti pada sahabat, sehingga statusnya mawqûf, tidak marfû’. Namun demikian, perkataan semacam ini tidak mungkin dikatakan oleh sahabat berdasarkan akal, sehingga pasti merupakan informasi dari Nabi. Hal demikian ini dalam ilmu hadis disebut marfû’ ma’nawî.

Ada Nabi Setelah Muhammad?


Ada sebagian kalangan yang murtad dari Islam menjadikan hadis riwayat Ibnu Mâjah ini sebagai dalih untuk mendukung keyakinan mereka tentang kemungkinan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad.Salah seorang di antara mereka menyatakan:

Di waktu Ibrahim, anak Rasulullah wafat, maka Rasulullah berkata :
“Jika hidup dia (Ibrahim), tentu dia menjadi Nabi yang sangat benar”.
Ini hadist menunjukkan, bahwa ada lagi Nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w. kalau sekiranya tidak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w. tentu Nabi Muhammad tidak akan berkata begitu, hanya mesti berkata: “Sekalipun Ibrahim hidup, tentu dia tidak akan menjadi Nabi, sebab tidak ada lagi Nabi sesudah aku”.

Pernyataan di atas dikeluarkan oleh Abu Bakar Ayub, salah satu wakil Qadiyani, dalam sebuah debat dengan Pembela Islam yang diwakili oleh A. Hassan pada tanggal 28 September 1933.

Pernyataan semacam ini jelas tertolak. Kata law dalam hadis itu merupakan bentuk jumlah syarthiyyah. Suatu berita yang disampaikan dalam bentuk jumlah syarthiyyah pada kenyataannya tidak harus terjadi. A. Hassan menyatakan: “Telah berkata bukan seorang saja dari ahli ilmu, bahwa perkataan yang pakai kalimah ‘kalau’ itu tidak mesti kejadian.”

Dengan demikian, meskipun dinyatakan ‘seandainya Ibrâhîm hidup, ia akan menjadi Nabi’, belum tentu ia menjadi Nabi jika ia hidup. Bahkan hal itu malah tidak mungkin, sebab Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Demikianlah pemahaman yang benar.

Apalagi jika hadis tersebut dipahami bersama hadis yang lain yang senada. Pemahaman yang benar akan menunjukkan bahwa yang dimaksud sama sekali bukan seperti yang diinginkan kelompok yang mengakui ada Nabi lain setelah Nabi Muhammad. Justru sebaliknya, hadis ini malah mempertegas status Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.

Redaksi hadis berkenaan dengan hal ini tidak hanya satu. seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan Imâm Ahmad di atas saja. Misalnya riwayat Imâm al-Bukhârî:

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قُلْتُ لِابْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَاتَ صَغِيرًا وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيٌّ عَاشَ ابْنُهُ وَلَكِنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Ibnu Numayr memberi tahu kami, Muhammad bin Bisyr memberi tahu kami, Ismâ’îl memberi tahu kami: saya bertanya kepada Ibnu Abî Awfâ: apakah Anda sempat melihat Ibrâhîm putra Nabi shallâllâhu ‘alayhi wa sallam? Ibnu Abî Awfâ berkata: ia meninggal waktu kecil. Seandainya ditakdirkan akan ada Nabi setelah Muhammad shallâllâhu ‘alayhi wa sallam, niscaya putra beliau hidup. Tetapi tidak ada Nabi setelahnya.
(HR. al-Bukhârî)

Hadis di atas jelas lebih tepat dipahami sebagai penguat status Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir. Sebab, jelas hadis ini harus dipahami bahwa Nabi Muhammad ditetapkan sebagai Nabi terakhir, sehingga untuk ‘menjamin’ ketetapan ini, Ibrâhîm ditakdirkan meninggal ketika ia masih bayi. Jika demikian, lalu dengan alasan apa ada orang selain Ibrâhîm –seandainya pun memiliki kesamaan ‘potensi’ jadi Nabi seperti Ibrâhîm- tetap hidup sampai dewasa? Berdasarkan hadis ini, seharusnya ia meninggal sebelih balig.

Lagi pula, menurut al-‘Allâmah al-Alûsî, hadis tentang ‘kenabian’ itu khusus ditujukan kepada Ibrâhîm. Itu sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya. Hal yang mirip dengan hadis ini juga pernah disampaikan sebagai pemuliaan untuk ‘Umar dan ‘Alî radhiyallâhu ‘anhumâ. Jadi, tidak ada alasan untuk menjadikannya sebagai dalih adanya Nabi setelah Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam.

Billâhi fî Sabîl al-Haqq. Fa mâdzâ ba’da al-Haqqi llâ al-Dhalâl?
Bantul, Jumâdî al-Tsâniyah 1428 H
Al-Faqîr li maghfirati Rabbihi
Shofhi Amhar

Teori Evolusi dan Rekayasa Sosial

Shofhi Amhar

Teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin konon merupakan teori sentral bagi arus utama sains kealaman yang berbicara tentang makhluk hidup (biologi) saat ini. Beberapa pelaku sejarah bahkan menjadikannya dasar –atau sekedar legitimasi- bagi proses perubahan sosial yang menurut ideal mereka harus dilakukan. Sebut saja nama-nama seperti Marx dan Hegel (serta seluruh cabang dari aliran Sosialisme-Ilmiah), Hitler (penggagas ideologi sosialisme-nasionalis).

Namun, terdapat cukup alasan paradigmatis bagi seorang Muslim seperti saya untuk tidak menggunakan mekanisme evolusi sebagai asas rekayasa sosial, baik teori evolusi tersebut mengandaikan keberadaan Pencipta, apalagi menafikannya.

Demikian, tulisan ini mencoba berbicara secara sekilas tentang teori evolusi, pandangan para saintis terhadapnya, konsekuensinya terhadap ide ketuhanan, peluangnya dikonversi ke dalam kancah ilmu sosial sebagai landasan rekayasa sosial, sampai pada perbincangan mengenai kebangkitan..

1.

Adi Setia, seorang peneliti di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)-IIUM menyebutkan tidak kurang dari sepuluh tokoh sains dari berbagai disiplin ilmu yang melontarkan kritik tajam terhadap teori evolusi dalam sebuah tulisan bertajuk Kritik Sains Terhadap Evolusi Darwin yang dimuat pada Majalah ISLAMIA, Tahun I No.1/Muharram 1425. Ada nama Michael Behe (Profesor Madya dalam bidang biokimia di Universitas Lehigh), W.R. Thompson, L. Harrison Matthews (keduanya adalah ahli biologi), Phillip E. Johnson (pakar bidang kajian logika argumentasi, profesor hukum Universitas California, Bakeley), Karl Popper (filosof sains). Orang yang disebut terakhir ini menyifatkan teori evolusi sebagai teori yang tidak saintifik, karena bersifat tautologi dan ungkapannya terlalu umum sehingga bisa diputarbalikkan untuk menerangkan semua fenomena biologi, padahal teori itu tidak menerangkan apapun. Dan masih banyak tokoh sains lain yang teori-teorinya secara telak menggugurkan teori evolusi, termasuk pelopor psikologi dan lingusitik kognitif, Noam Chomsky.

Di Eropa sendiri, saat ini teori evolusi mendapat tantangan yang nyata dari para saintis penganut teori ‘Rancangan Cerdas’. Situs www.hidayatullah.com menyediakan kolom khusus ‘Teori Evolusi Menanti Ajal’ untuk mewadahi perkembangan informasi isu ini. Eropa sedang hangat berdebat mengenai keabsahan teori evolusi.

Kesimpulan minimalnya, bahwa teori evolusi masih dalam perdebatan ketimbang ‘telah dapat dibuktikan dan tidak lagi perlu bukti lebih lanjut’.

2.

Arus utama teori evolusi mengklaim bahwa semua jenis kehidupan yang ada sekarang telah berkembang secara bertahap dari beberapa organisme yang sederhana, malah mungkin juga dari satu organisma sederhana saja, melalui proses pemilihan alami atau penurunan dengan pemodifikasian. Proses perkembangan mendatar dari bibit yang alami itu dianggap muncul dari bahan-bahan galian dan kimia yang tidak hidup. Malah bibit hidup yang alami itu dianggap muncul dai bahan-bahan galian dan kimia yang tidak hidup. (Islamia, thn 1 No.1/Muharram 1425, hal.70)

Dengan kata lain, pemikiran evolusionis mainstream mengandaikan ketiadaan Pencipta; sebuah kesimpulan yang sama sekali ngawur dengan bebagai bukti yang meyakinkan. (Bukti-bukti tentang kelemahan ateisme berbalut evolusionis akan dikemukakan pada kesempatan lain apabila diperlukan).

Untuk lebih meingkas jalan menuju pembahasan pokok ‘rekayasa sosial’, poin selanjutnya akan meninggalkan sama sekali pengandaian evolusionis mainstream tentang qadimnya alam itu.

3.

Informasi yang didapatkan (salah satunya) dari Syaikh Nadim al-Jisr, dalam buku Para Pencari Tuhan, bahwa Charles Darwin sendiri bukan seorang ateis. Bahkan Hitler, di beberapa tempat dalam bukunya Mein Kampf, sering menyebut-nyebut tentang Tuhan (tentu dalam kadar yang tidak melampaui kosep Tuhan dalam Barat; meski orang-orang telah mafhum Hitler sebenarnya musuh bagi agama). Ketika menyifati Yahudi–bangsa manusia yang amat dibencinya–, misalnya, Hitler menyebut “Keseluruhan eksistensi mereka adalah sebuah perwujudan proses melawan estetika imaji Tuhan”. Sebuah kolom di harian Kedaulatan Rakyat beberapa tahun yang lalu mengabarkan bagaimana seorang Hitler mempercayai klenik dengan memiliki tongkat yang dipercaya pernah digunakan untuk membunuh Yesus serta –seperti halnya George W. Bush pada masa ini- pernah dengan sengaja melabeli crusade sebagai penyemangat bala tentara untuk perang.

Nah, taruhlah teori evolusi adalah valid serta tidak memiliki konsekuensi penafian wujud Pencipta. Namun, abhsahkah yang dilakukan Adolf Hitler (dan dengan kadar yang lebih ringan, Marx dan Engels) dengan menyulapnya menjadi dasar rekayasa sosial? Inilah pertanyaan paling penting dalam bahasan ini.

4.

Manusia, meskipun bagian dari alam, namun mereka memiliki keistimewaan berupa akal. Manusia memiliki hukum-hukum khusus yang berbeda dengan alam secara umum, maupun hewan-hewan. Manusia dapat memilih melakukan banyak hal dan meninggalkannya dengan bebas.

Aktivitas manusia, selain didorong oleh naluri-naluri dan kebutuhan pokok tertentu, juga dipengaruhi oleh pemikirannya. Berbeda sama sekali dengan hewan yang hanya bergerak sesuai dengan dorongan naluri dan kebutuhan jasmani. Hal ini menjadikan interaksi antar-manusia juga berkaitan dengan interaksi-pemikiran antar-mereka. Keunikan manusia dalam interaksinya ini tidak sesederhana interaksi hewan-hewan yang bergerak dengan dorongan naluri dan kebutuhan jasmani.

Karenanya, fatal jika menerapkan teori evolusi –yang mengkaji benda-benda mati yang pasif dan hewan-hewan yang beraktivitas monoton- untuk mengatur tata kehidupan manusia.

Fatal misalnya, jika karena pada kenyataannya makhluk hidup adalah bertingkat-tingkat, maka yang kuat wajib melenyapkan yang lemah. Sebab hal itu berarti mengingkari keistimewaan manusia yang punya akal. Ketika pelenyapan sebuah elemen dalam masyarakat tidak didasari pada pandangan dunia melalui proses berpikir mendasar yang benar, itu sama artinya berlipat-lipat mengingkari mematikan kemuliaan manusia.

Sedikit meloncat, dalam Islam, sebuah pertarungan (baik secara ide maupun –dalam kondisi yang memaksa untuk itu, sebagai jalan terakhir: fisik) tidak didasarkan pada kategori primordial berdasarkan ras yang di sana manusia sama sekali tidak bisa memilih, melainkan didasarkan pada kategori haqq dan bâthil; sebuah kategori yang memberikan kesempatan kepada manusia untuk mempergunakan potensi kemuliaannya.

6.

Kebangkitan manusia diawali dari pemikiran. Pemikiran itu didapat dari proses ‘aqlî dalam usahanya menjawab pertanyaan-pertanyaan asasi yang sejatinya selalu muncul dalam benak setiap orang baik disadarinya atau tidak. Pertanyaan itu menyangkut eksistensi dirinya dan wujud yang ada sebelum dan sesudahnya. Secara sederhana dirumuskan dalam tiga pertanyaan: dari mana, untuk apa, dan mau ke mana seluruh eksistensi yang ada di dunia ini?

Untuk mengalami kebangkitan, suatu bangsa tidak memerlukan penerjemahan fenomena alam untuk dijadikan tata sosial. Yang mereka perlukan hanyalah kepemimpinan berpikir. Dan dari sedikit pandangan hidup yang mampu menjawab tiga soal asasi dan sekaligus menjadi kepemimpinan berpikir suatu bangsa, manusia hendaknya memilih satu-satunya yang haqq: Islam.

Inspirasi:

Adolf Hitler. Mein Kampf. Jakarta: Narasi, 2007

Adi Setia. Kritik Sains Terhadap Teori Evolusi Darwin. Majalah ISLAMIA Thn I, No. 1 Muharram 1425/Maret 2004

Ghanim Abduh. Kritik Atas Sosialisme-Marxisme. Bangil: Al-Izzah, 2003.

Syaikh Nadim al-Jisr. Para Pencari Tuhan; Dialog Alquran, Filsafat, dan Sains dalam Bingkai Keimanan. Bandung, Pustaka Hidayah: 1999.

REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”

REVIEW BUKU “MADZAHIBUT TAFSIR”

Oleh: Shofhi Amhar

A.    Pendahuluan

Kaum Muslimin memiliki tradisi yang khas dibandingkan umat agama lain yang memiliki kitab suci. Alquran, sebagai kitab suci kaum Muslimin layaknya mata air yang tidak kering. Darinya kaum Muslimin menimba berbagai hikmah yang diperlukannya untuk menjalani kehidupan. Di dalam naungan Alquran, kreativitas keilmuan di kalangan umat tumbuh dan berkembang dengan suburnya. Lahir kemudian cabang-cabang ilmu keislaman yang telah beratus-ratus tahun memberikan manfaat bagi peradaban manusia.
Salah satu cabang ilmu terpenting berkaitan dengan Alquran adalah tafsir. Sejak zaman Nabi sampai sekarang, tradisi penafsiran Alquran tidak pernah berhenti. Berbagai corak tafsir pun diproduksi dari berbagai corak pemikiran. Sejarah mengenal berbagai macam corak penafsiran baik yang semasa maupun berbeda zaman.
Berbagai corak tafsir itu kemudian mencoba dipotret dan dipetakan oleh cendekiawan yang datang belakangan. Tercatat nama-nama seperti Muhammad Husain al-Dzahabi dengan karyanya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (1961), Abû Yaqzhan ‘Athiyyah al-Jabûrî dengan kitab Dirâsah fi al-Tafsîr wa Rijâlihi (1971) dan Abdul ‘Azhîm Ahmad al-Ghubasy yang menulis Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn (1977) dan lain-lain. (hal.3)
Di Indonesia, ada beberapa buku yang membahas beberapa kitab tafsir seperti Studi Kitab Tafsir yang ditulis oleh beberapa orang dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku yang secara khusus memeta-metakan berbagai corak pemikiran (madzhab) dalam bidang ini di antaranya ditulis oleh Abdul Mustaqim dengan tajuk Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Tulisan ini dimaksudkan untuk mereview buku yang disebutkan terakhir.
Kajian tentang Madzahibut Tafsir sendiri menjadi mata kuliah wajib studi Tafsir Hadits di berbagai perguruan tinggi yang membuka program studi Tafsir Hadits, termasuk Universitas Ahmad Dahlan.
Terma madzahibut tafsir sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang menerjemahkan buku Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung karya Ignaz Goldziher ke dalam bahasa Arab dengan tajuk Madzahib al-Tafsir al-Islami (1955).

B.    Review
Buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim dan disunting oleh Hudalloh ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit  Nun Pustaka Yogyakarta pada bulan Februari 2003. Dicetak dalam 137+xviii halaman, termasuk pengantar penulis, kata pengantar oleh Guru Besar Filsafat Islam dan Rektor IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, isi, daftar pustaka, indeks, dan biodata penulis.
Secara garis besar isi buku ini membahas tinjauan ontologis, epistemologis, serta aksiologis dari madzahibut tafsir yang diuraikan dalam Bab I, disusul dengan kategorisasi madzhab tafsir di dalam bab-bab selanjutnya. Bab II berisi Madzahibut Tafsir periode Klasik, Bab III Madzahibut Tafsir Periode Pertengahan, Bab IV Madzahibut Tafsir Periode Kontemporer, dan terakhir Bab V yaitu Penutup.
Menurut penulis, munculnya madzahibut tafsir merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Sebab, setiap generasi ingin selalu “megkonsumsi” dan menjadikanAlquran sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan perilakunya. Penulis mengafirmasi Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa setiap aliran pemikiran yang muncul dalam sejarah umat Islam selalu cenderung untuk mencari legitimasi dan justifikasi dari kitab sucinya (al-Quran) (hal. 4-5).
Secara rinci, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya madzhab-madzhab tafsir secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (al-‘awâmil al-dakhiliyah) dan faktor eksternal (al-‘awâmil al-khârijiyah).
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di dalam internal teks itu sendiri, yaitu:
Pertama, kondisi teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. Dalam hal ini dikenal beberapa variasi bacaan Alquran yang dikenal dengan sab’atu ahruf.
Kedua, kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) dalam Alquran yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
Ketiga, adanya ambiguitas makna dalam Alquran. Hal ini, misalnya disebabkan karena adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda), ataupun terdapatnya kata-kata yang dapat diartikan secara hakiki maupun majazi.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar teks Alquran, yaitu kondisi subjektif penafsir, seperti kondisi sosio-kultural, politik, pra-konsepsi. Selain itu, perspektif dan keahlian atau ilmu yang ditekuni oleh seorang mufasir juga merupakan faktor yang cukup signifikan.
Sebagaimana terlihat di awal review ini, kategorisasi yang dipilih oleh penulis didasarkan pada periodisasi kapan tafsir diproduksi. Tampaknya pemilihan kategorisasi ini mengikuti apa yang dilakukan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Hanya saja, penulis mengkritik kategorisasi al-Dzahabi yang dianggapnya menggunakan standar ganda. Di satu sisi al-Dzahabi mendasarkan pada kronologi waktu, tetapi kemudian, di sisi lain ia menggunakan kategorisasi berdasarkan kodifikasi.
Dalam masing-masing bab, penulis menyebutkan rentang zaman yang dimasukkannya pada periode klasik, periode pertengahan, dan periode kontemporer. Tafsir periode klasik adalah tafsir yang berkembang pada masa Rasulullah hingga munculnya tafsir masa pembukuan (akhir masa Daulat Bani Umayyah atau awal Daulat Bani Abbasiyah), yakni abad I H sampai abad II H.
Tafsir periode pertengahan dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan gengerasi sekarang sudah dalam bentuk buku (terkodifikasi dengan baik). Tampaknya penulis memasukkan seluruh masa pemerintahan Abbasiyah ke dalam periode ini ditambah masa ‘Utsmaniyah sampai masa Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha. Penulis sendiri memperkirakan periode kontemporer adalah dimulai dari Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha (yang disebutnya masa modern). Namun di sisi lain penulis menyatakan terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufasir ini dengan perkembangan tafsir yang terjadi saat ini. (hal. 91).

1.    Periode Klasik
Pada periode klasik dibahas madzahibut tafsir masa sahabat dan tabiin.
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam adalah awwalu al-mufassirîn, orang pertama yang menguraikan dan menjelaskan Alquran kepada umatnya. Pada waktu Nabi masih hidup, tampaknya tak seorang pun dari para sahabat yang berani menafirkan Alquran. Dalam QS al-Qiyamah [75]: 17-19, al-Nahl [16]: 44, dan al-Nahl [16]: 64 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan, dan memberikan penafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan. (hal. 34-35)
Penafsiran Rasulullah bisa berbentuk sunnah qawliyyah, sunnah fi’liyyah, maupun sunnah taqririyyah. Penafsiran Nabi selalu dibantu oleh wahyu yang merupakan salah satu makna kemaksuman Nabi. Apabila para sahabat tidak mengetahui makna atau maksdu suatu ayat, mereka segera merujuk dan bertanya kepada beliau. (hal 35-36). Namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh kandungan makna Alquran secara detil sudah dijelaskan oleh Nabi, sebab banyak ayat Alquran yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi dan itu merupakan tugas bagi generasi berikutnya untuk menjelaskannya. (hal. 36).
Setelah Nabi wafat, para sahabat mereasa terpanggil untuk ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan pahami mengenai Alquran. Mereka pada dasarnya dapat memahami Alquran secara global berdasarkan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran, sedang pemahaman mereka secara detil atas Alquran memerlukan penjelasan dari Nabi berupa hadis-hadis, di samping ijtihad mereka sendiri. (hal. 37)
Para sahabat tidak sama pengertian dan pemahamannya terhadap Alquran, beberapa faktor, yaitu: 1) di dalam Alquran terdapat lafazh-lafazh gharib dan musykil yang hanya dapat diketahui melalui pemahaman atau penjelasan Nabi, 2) perbedaan penguasaan bahasa Arab, 3) perbedaan dalam intensitasnya mendampingi Nabi, 4) perbedaan pengetahuan tentang adat-istiadat orang jahiliyah, dan 5) perbedaan pengetahuan mengenai orang-oragn Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arb pada waktu diturunkan Alquran.
Sumber-sumber yang digunakan oleh para sahabat untuk menafsirkan Alquran adalah:
a.    Alquran
b.    Qiraah Syadzdzah
c.    Hadis Nabi
d.    Ijtihad. (hal. 38-42)

Karakteristik tafsir pada masa sahabat dapat disebutkan antara lain:
a.    Belum menjadi sebuah karya tafsir yang utuh. Hanya ayat-ayat tertentu saja yang danggap sulit pengertiannya yang diberi penafsiran.
b.    Tidak banyak terjadio perbedaan
c.    Tafsir bersifat global (ijmali)
d.    Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasar makna bahasa yang primer/pokok saja.
e.    Tidak ada penafsiran secara ilmi, fiqhi, dan madzhabi.
f.    Belum ada pembukuan tafsir, meski terdapat manuskrip berupa catatan.
g.    Merupakan bentuk perkembangan dari hadis, sebab tafsir pada mulanya hanya merupakan cabang dari hadis yang diriwayatkan dari Nabi mengenai hal-hal yang terkait dengan penafsiran Alquran. (hal. 43-44).

Para tokoh mufasir dari kalangan sahabat dapat digolongkan dari beberapa segi:
a.    Ditinjau dari popularitasnya: tokoh mufasir yang termasyhur ada 10 orang, yaitu: 1) Abu Bakar al-Shiddiq; 2) ‘Umar bin al-Khaththtab, 3) ‘Utsman bin ‘Affan, 4) ‘Ali bin Abi Thalib, 5) Ibnu Mas’ud, 6) Ibnu ‘Abbas, 7) Ubay bin ka’ab, 8) Zaid bin Tsabit, 9) Abu Musa al-Asy’ari, dan 10) Abdullah bin Zubair. Adapaun tokoh yang tidak begitu masyhur ada 6 orang, yaitu: 1) Anas bin Malik, 2) Abu Hurairah, 3) ‘Abdulah bin ‘Umar, 4) Jabir bin Abdullah, 5) Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dan 6) ‘Aisyah.
b.    Ditinjau dari intensitas dan kuantitasnya: tokoh-tokoh yang banyak  menafsirkan Alquran ada 4 orang, yaitu: 1) ‘Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibn ‘Abbas, 3) Abdullah Ibn Mas’ud, dan 4) Ubay bin Ka’ab. Sedangkan tokoh-tokoh yang relatif sedikit dalam penafsirannya terhadap Alquran di antaranya: 1) Zaid bin Tsabit, 2) Abu Musa al-Asy’ari, 3) Abdullah bin Zubari, 4) Abu Bakar, 5) Umar bin Khtaththab, 6) ‘Utsman bin Affan, 7) Anas bin Malik, 8) Abu Hurairah, 9) Abdullah bin ‘Umar, 10) Jabir bin Abdullah, 11_ Abdullah bin Amr bin Ash, dan 12) Aisyah.

Sebagai salah satu contoh penafsiran sahabat, diuraikan cukup lebar tentang tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, seorang sahabat yang diberi gelar turjumanul quran. Di antara contohnya adalah ketika menafsirkan ayat idz antum muslimun (Ali ‘Imran [3]: 80) dengan ayat Alquran surat al-Baqarah [2]: 132.
Pada masa tabiin, aliran-aliran tafsir dikategorikan menjadi tiga kelompok:
a.    Aliran Tafsir di Makkah, ditokohi oleh murid-murid Ibnu ‘Abbas, seperti: Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, dan Thawus bin Kisan al-Yamani. Para tabiin ini meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas tentang hal-hal yang musykil kepada generasi berikutnya dan menambahkan pemahamannya. Aliran ini sudah mulai memakai dasar aqli (ra’yu).
b.    Aliran Tafsir di Madinah
c.    Aliran Tafsir di Iraq

Karakteristik tafsir pada masa tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    belum terkodifikasi secara tersendiri
b.    masih bersifat hapalan dan peiwayatan
c.    sudah kemasukan riwayat-riwayat Israiliyat
d.    sudah muncul benih-benih perbedaan madzhab
e.    sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabiin dengan para sahabat.

Adapun tokoh ahli tafsir di kalangan tabiin yang termasyhur dari Makkah antara lain Mujahid ibn Jabbar (w. 103 H), Said in Jubair (w. 94 H), Ikrimah (w. 105 H), Thawus bin Kisan al-Yamani (w. 106 H), serta ‘Atha` ibn Rabah al-Makki (w. 114 H).
Dari Madinah ada nama-nama seperti Abdurrahman ibn Zaid (w. 182 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Hasan al-Bashri (w. 121 H), ‘Atha` bin Abi Muslim al-Hurani (w. 135 H), dan masih banyak lagi.
Sedangkan dari Iraq dikenal nama-nama seperti Alqamah bin Qais (w. 102 H), al-Aswad ibn Yazid (w. 75 H), Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H), serta al-Sya’bi (w. 105 H)

Kelebihan tafsir pada masa klasik secara umum adalah:
1)    Tidak bersifat sektarian
2)    Tidak banyak perbedaan pendapat mengenai hasil penafsirannya
3)    Belum kemasukan riwayat-riwayat Israiliyyat yang dapat merusak aqidah Islam

Sementara kekurangannya, antara lain:
1)    Belum mencakup seluruh penafsiran ayat Alquran
2)    Penafsiran masih bersifat parsial
3)    Pada masa tabiin sudah mulai besifat sektarian
4)    pada masa tabiin sudah mulai kemasukan riwayat-riwayat israiliyyat.

Signifikansi kajian madzahibut tafsir yang disebutkan dalam buku ini antara lain:
1)    Untuk membuka wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran Alquran.
2)    Untuk mengembangkan dan menyadarkan adanya pluralitas dalam penafsiran Alquran.
3)    Untuk menghindarkan sikap taqdis al-afkar.

2.    Periode Pertengahan

Tafsir pada periode pertengahan memiliki karakteristik antara lain:
1)    Pemaksaan gagasan asing ke dalam penafsiran Alquran
2)    Banyaknya pengulangan (al-tikrar) dan bertele-tele (al-tathwil)
3)    Bersifat atomistik (parsial)

Sedangkan corak yang mewarnai perode ini adalah:
1)    Tafsir Corak Fikih
2)    Tafsir Corak Teologis
3)    Tafsir Corak Sufistik
4)    Tafsir Corak Falsafi
5)    Tafsir Corak ‘Ilmi

3.    Tafsir Periode Kontemporer
Karakteristik tafsir periode kontemporer adalah:
1)    Menjadikan Alquran sebagai kitab petunjuk
2)    Mengungkap ”Ruh” Alquran

Pola pendekatan yang dipakai pada periode ini kebanyakan adalah ijmail dan mudhu’i. Tokoh yang pertama mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penafsiran dengan metode maudhu’i adalah al-Farmawi dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsîr al-Mawdhû’î. Langkah-langkah tersebut adalah: pertama, menetapkan masalah yang akan dibahas. Kedua, menghimpun masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah tersebut. Ketiga, menyusun runtutan ayat sesuai dengan urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang asbab al-nuzulnya. Keempat, memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Kelima, menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna. Keenam, melengkapi dengan hadis-hadis yang relevan. Ketujuh, mempelajari ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikanm antara yang ’amm dengan yang khashsh, yang muthlaq dengan yang muqayyad atau yang secara lahiriah tampak bertentangan, sehingga dapat bertemu dalam satu muara.
Pola pendekatan lain yang berkembang pada periode ini adalah pola yang dikembangkan oleh para mufassir-feminis. Para feminis mengambil begitu saja ayat-ayat yang akan ditafsirkan kemudian ”mengutak-atik” ayat-ayat yang berkait dengan relasi gender melalui ”pra-konsepsi” tertnetu yang memposisikan keseteraan laki-laki dan perempuan.
Pada periode kontemporer ini, ada beberapa metode baru dalam penafsiran Alquran yang mencoba diperkenalkan oleh para penggagasnya. Sebut saja Fazlur Rahman dengan metode ”Tafsir Kontekstual”. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika model Emilio Betti, Rahman mengajukan teori ”gerakan ganda” (double movements). Metode ini di antaranya diikuti oleh Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, dan Amina Wadud Muhsin.
Hassan Hanafi mencoba mengenalkan metode yang disebut oleh Muhammad Mansur sebagai ”Penafsiran Realis”. Ada pula Muhammad Arkoun yang menawarkan suatu metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap Alquran. Sedangkan Nasr Hamid Abu Zaid lebih mengedepankan pendekatan sastra dalam upaya memahami Alquran. Selain itu masih ada Muhammad Shahrur, Mahmoud Muhammad Thaha, serta Asghar Ali Engineer yang disebut penulis dalam periode kontemporer ini.
Shahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis setelah melakukan tartil ’inter-tekstualitas’. Mahmoud Muhammad Thaha mengajukan teori yang disebutnya sebagai ”evolusi syariah”. Teori ini membagi Alquran menjadi dua kategori: Makkiyah dan Madaniyah. Pemahaman terhadap nilai Alquran harus dikembalikan pada apa yang dikatakan oleh ayat-ayat Makiyyah ini, bukan pada ayat-ayat Madaniyah karena sifatnya yang temporer. Asghar Ali Enginer berupaya menekankan bahwa ayat-ayat Alquran memiliki dua dimensi makna: historis dan normatif. Sisi normatif inilah yang harus dipegang karena inilah yang universal. Sementar makna historis hanyalah bersifat kontekstual yang oleh karenanya harus dipahami tak lebih sebagai ”cara” Tuhan untuk menyelesaikan problem manusia yang bersifat historis.

C.    Kritik
Ada beberapa kritik dari reviewer tehadap buku ”Madzahibut Tafsir” yang dalam kesempatan ini hanya akan disampaikan secara singkat.
1.    Apabila penulis mengkritik al-Dzahabi yang kurang konsisten dalam kategorisasinya, kritik yang sama juga kiranya bisa disampaikan kepada penulis dalam kategorisasinya. Sebab faktanya penulis terlihat agak kurang yakin tentang penempatan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada periode yang mana, meski akhirnya kedua tokoh itu diposisikan dalam periode kontemporer.
2.    Ketika memaparkan tafsir periode kontemporer, penulis terlihat hanya memperhatikan tokoh-tokoh yang justru mengambil metodologinya dari hermeneutika yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Barat-sekular yang belum tentu cocok dengan karakteristik Alquran itu sendiri. Padahal di sisi lain, pada periode kontemporer pun masih melimpah tokoh-tokoh di bidang tafsir yang masih mempertahankan metodologi yang murni berasal dari khazanah Islam.
3.    Tidak seperti pemaparan pada periode klasik maupun pertengahan, pada periode kontemporer penulis hampir tidak memberikan kritik sama sekali terhadap berbagai perkembangan yang terjadi. Penulis misalnya menyatakan bahwa tafsir pada periode pertengahan didominasi oleh ”kepentingan”. Namun kritik yang sama tidak dilakukan pada periode kontemporer yang juga sarat ”kepentingan” dan ”pra-konsepsi”.
4.    Bagaimana pun sebuah petualangan ilmiah harus dikhidmatkan untuk pencarian kebenaran. Sayangmya, ketika menyampaikan signifikansi hal itu sama sekali tidak disinggung. Seberapa pun beragam aliran-aliran tafsir yang ada, menurut hemat reviewer, tetap saja ada di antaranya yang perlu untuk dihindari dalam rangka pemurnian keilmuan Islam dari hal-hal yang asing dalam agama.

Wallahu A’lam

Bantul, 8 April 2008

POLIGINI DAN POLIANDRI

arikel lama. tapi ya, lumayanlah…

POLIGINI DAN POLIANDRI

 

Poligami adalah istilah yang mencakup dua kategori: poligini untuk laki-laki yang memiliki pasangan (istri) lebih dari satu; dan poliandri untuk perempuan yang memiliki pasangan (suami) yang lebih dari satu. Tulisan ini lebih memfokuskan untuk menawarkan model pembahasan seperti apa yang seharusnya dipakai dalam mengkaji poligami. Karenanya, pembahasan tentang hukum poligini dan poliandri hanya disampaikan dengan sangat singkat di bagian akhir.

Kebolehan Poligini

Sebagian orang menganggap bahwa poligini sampai sekarang masih diperbolehkan oleh agama. Mereka beralasan bahwa poligini dapat menjadi alternatif solusi bagi permasalahan yang terkadang menimpa sebuah rumah tangga.
Terkadang sepasang suami-istri tidak kunjung memiliki anak setelah bertahun-tahun menikah, karena sang istri mandul. Mereka bisa saja bercerai. Namun poligini bisa menjadi alternatif yang lebih baik, ketika sang suami sangat mencintai istrinya, demikian pula sang istri sangat mencitai suaminya, dan keduanya tidak menghendaki perceraian.
Demikian pula, poligini dapat menjadi jalan keluar ketika, misalnya, sang istri sakit keras yang menyebabkannya tidak mampu melayani suaminya. Padahal sang suami butuh ada yang melayani. Dengan poligini, si suami tetap bisa merawat istrinya yang sakit, namun juga hasratnya dapat disalurkan dengan istrinya yang lain.

Poligini juga dapat menjadi penyelamat bagi laki-laki yang hyper-sex dari perzinahan dengan wanita lain yang tidak halal baginya. Selain itu, jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki mempertegas kebolehan poligini.

Kebolehan Poliandri

Jika poligini diperbolehkan dengan alasan-alasan di atas, maka selayaknya poliandri pun dilegalkan! Mengapa tidak? Kemandulan tidak hanya bisa menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Laki-laki juga punya potensi mandul. Oleh karenanya, kalau solusi ketika perempuan mandul adalah poligini, maka poliandri pun dapat menjadi solusi jika laki-lakinya yang mandul.

Demikian pula, poliandri dapat menjadi jalan keluar ketika, misalnya, sang suami sakit keras yang menyebabkan tidak mampu melayani istrinya. Padahal sang istri butuh ada yang melayani. Dengan poliandri, sang istri tetap bisa merawat suaminya yang sakit, namun juga hasratnya dapat disalurkan dengan suaminya yang lain.
Poliandri juga dapat menjadi penyelamat bagi perempuan yang hyper-sex dari perzinahan dengan laki-laki lain yang tidak halal baginya. Sementara data statistik di beberapa negara seperti Tiongkok yang menunjukkan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, seharusnya menyadarkan orang bahwa poliandri pun tidak boleh dilarang jika memang poligini diperbolehkan!

Problem yang Sambung-Menyambung

Sependek uraian di atas, perdebatan kubu pro-poligini dan anti-poligami belumlah selesai. Masih ada pertanyaan yang belum terjawab (atau bahkan tidak terjawab) oleh masing-masing kubu. Atau mungkin, dengan kalimat yang lebih tepat, masing-masing tidak mampu mengemukakan argumnetasi yang benar-benar mutlak dan sempurna, karena alasan yang dikemukakan (setidaknya sejauh yang terbaca di atas) bersifat relatif-kasuistik belaka.
Jika pembahasan semacam ini diterus-teruskan, perdebatan akan memanjang dan bisa jadi tidak berkesudahan. Ambil contoh perdebatan poligini-poliandri di atas kita teruskan.
Pihak pro-poligini selanjutnya mengambil alasan tentang kejelasan nasab. Mereka akan mempertanyakan kejelasan nasab seorang anak yang lahir dari seorang ibu yang melakukan poliandri. Apakah poliandri bisa menjamin kejelasan nasab?

Pertanyaan ini dijawab oleh kubu anti-poligami dengan: “Ya, bisa. Anggapan bahwa poliandri akan mengacaukan nasab, sah saja jika diungkapkan pada 1400-an tahun yang lalu. Tetapi pernyataan itu tidak berlaku untuk saat ini! Teknologi terkini dapat mendeteksi DNA seseorang, sehingga dapat diketahui siapa bapaknya.”

“Berapa negara di dunia ini yang mampu menyelenggarakan tes DNA? Lagipula, pelacakan bapak seorang anak yang harus melalui tes DNA justru menunjukkan bahwa poliandri bukanlah proses yang alami,” balas kubu pro-poligini.

Dan seterusnya, dan seterusnya, sampai kita tidak tahu kapan kesudahannya. Karena perdebatan semacam itu melibatkan banyak aspek manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Sedangkan sampai sekarang, manusia sendiri belum ada yang berani mangaku telah mampu mengetahui aspek detil dirinya sendiri.
Penulis sendiri lebih sepakat jika pembahasan semacam itu dijadikan sampingan saja, bukan pokok. Pembahasan seperti iu hanyalah bunga yang akan menghiasi ‘kebun poligami’ setelah diketahui legal atau ilegalnya poligami dalam pandangan otoritas yang lebih tinggi dari manusia.

Aturan

Aturan dibuat untuk kemaslahatan umat manusia. Sebelum membuat aturan, pembuat aturan tentu harus lebih dulu mengetahui berbagai hal tentang kemaslahatan serta objek yang akan dibebani aturan tersebut. Kesempurnaan sebuah aturan akan ditentukan oleh seberapa paham sang pembuat aturan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan aturan yang akan diterapkannya.

Kemaslahatan yang sempurna akan diperoleh dari pelaksanaan peraturan yang sempurna. Untuk membuat peraturan yang sempurna, diperlukan juga pengetahuan yang sempurna. Sayangnya, manusia menghadapi kendala besar jika harus membuat peraturan yang sempurna (dalam mengurus manusia). Karena bagaimana mungkin dia dapat menghasilkan peraturan yang sempurna, sedangkan pengetahuannya tentang manusia itu sendiri sangat terbatas. Padahal, pada saat yang sama, manusia perlu meraih maslahat dalam kehidupannya.

Di sinilah sebetulnya manusia harus berterima kasih kepada Sang Pencipta, karena Dia telah berkenan menurunkan aturan-aturan-Nya bagi kemaslahatan umat manusia.

Meski manusia tidak memiliki pegetahuan yang memadai tentang manusia itu sendiri, namun ia tetap bisa mengecap maslahat karena telah diberikan aturan yang bersumber dari Zat yang ilmu-Nya meliputi segala zaman, mencakup semua tempat; universal.

Oleh karenanya, manusia tidak perlu lagi memaksakan diri untuk membuat aturan berdasarkan pengetahuannya yang lokal, temporal, dan tidak universal. Karena pengetahuan yang lokal, temporal, dan tidak universal tidak akan mampu menghasilkan peraturan yang universal. Jika demikian, maka kemaslahatan manusia tidak dapat tercapai.

Titah Ilahi

Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Dia menghendaki agar manusia memperoleh maslahat serta kebaikan-kebaikan yang banyak. Dia tidak menghendaki manusia terjerumus dalam bahaya. Karenanya, Dia memerintahkan manusia unuk tunduk kepada-Nya sepenuh-penuhnya dalam setiap tindakan yang dilakukannya.

Dia berfirman:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut. Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. An Nisâ`: 60)

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (TQS. Al-Baqarah: 216)
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (TQS. Al-Maidah: 50)

Atau adakah kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya? Bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat; Sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? (TQS. Al-Qalam: 36-39)

Berhakim Kepada Allah dan Rasul-Nya

Merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar untuk menempatkan bahasan poligami dalam kerangka hukum Islam. Karena kepatuhan tidak untuk siapa pun kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (TQS. An-Nisâ`[4]: 59)

Merupakan hal yang penting juga, menyingkirkan semua tendensi yang membuat pembacaan terhadap al-Qur`an tidak jernih lagi; agar kemurnian pemahaman terhadap al-Qur`an tetap terjaga.

Selanjutnya, siapapun berhak mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah memberi keputusan tentang poligami ini melalui firman-Nya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (TQS. An-Nisâ`[4]: 3)

Allah Ta’ala juga berfirman:

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (TQS. An-Nisâ`[4]: 24)

Dengan hati lapang dan pemikiran yang jernih, mari masing-masing dari kita berinteraksi seraya menyelami undang-undang dalam ayat-ayat tersebut. Silakan masing-masing kemudian menilai dengan jujur, haramkah poligini, serta sahkah poliandri?

Tidak mengurangi kekhusyukan menyelami petuah Ilahi di atas, sedikit kutipan dari Buya Hamka yang mengomentari An-Nisâ`[4]: 24 dengan:

Sesudah Tuhan menjelaskan siapa perempuan-perempuan yang disebut mahram, yang tidak boleh dinikahi, karena bertali darah atau karena dipertalikan oleh air susu, atau karena mertua dan menantu, sekarang Tuhan menerangkan lagi perempuan yang tak boleh dikawini, bukan karena sebab mahram melainkan karena telah ada yang punya.

“…yang telah bersuami kita jadikan arti dari kalimat al-muħshanât. Arti asalnya ialah yang telah dibentengi. Sebab apabila seorang perempuan telah bersuami, berartilah bahwa dia telah dibentengi oleh perlindungan suaminya, sehingga orang tidak boleh masuk ke dalam lagi.”

Sedang untuk An-Nisâ`[4]: 3, telah banyak diulas dengan panjang lebar di berbagai media dan kesempatan. Sekedar memperjelas posisi, penulis cenderung kepada pendapat yang menyatakan poligini adalah mubah, bukan sunah, haram, apalagi wajib. Selamat menelaah lebih dalam.

Bi Allâh fî Sabîl al-Ħaqq

Fa-stabiqû al-Khayrât.

Sedayu, 1 Februari 2007